Masalah dan Tantangan Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas Kesehatan dan Arah Kebijakan Nasional

Reporter: Devy Melati dan Aisyah Lailiya Ainul

Pada sesi kedua, dr. Imran Agus Nurali, Sp.KO sebagai Direktur Kesehatan Lingkungan, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan membahas tentang topik “Masalah dan Tantangan Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas Kesehatan dan Arah Kebijakan Nasional”. Menurut dr Imran, limbah Medis yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) merupakan masalah yang telah terjadi sejak lama. Masalah yang dihadapi dari pengelolaan limbah medis adalah kapasitas pengolah serta limbah medis yang harus dikelola. Kapasitas pengolahan limbah medis yang dilakukan oleh semua pihak swasta dan semua rumah sakit dengan insenerator berizin masih belum sebanding dengan limbah yang dihasilkan oleh fasyankes, sehingga masih banyak timbulan limbah medis yang tidak terolah. Selain itu, distribusi dari pengolah limbah swasta masih belum tersebar rata di Indonesia yang masih didominasi di Jawa.

Limbah medis penting untuk dikelola karena terkait dengan dampak lingkungan, kesehatan, serta pemenuhan peraturan. Pengelolaan limbah yang dihasilkan tergantung dari jenis dan karakteristik tiap limbah medis. Secara umum, metode pengelolaan limbah medis diantaranya dengan pengurangan dan pemilahan, pewadahan dan penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, penguburan, dan penimbunan. Metode pengelolaan limbah medis dapat dilakukan oleh pihak internal dan eksternal. Pihak internal dari fasyankes dapat melakukan pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang limbah medis, sehingga dapat mengurangi kapasitas limbah medis yang harus masuk ke insenerator. Bila fasyankes tidak dapat melakukan pengelolaan limbah sendiri, maka limbah akan dikelola oleh pihak ketiga, yaitu transporter yang selanjutnya akan mengangkut limbah ke pengolah limbah swasta.

Pemerintah saat ini sudah mengembangkan konsep pengolahan limbah medis yang berbasis wilayah. Pengolahan limbah dikelola secara mandiri di wilayah fasyankes terkait sehingga mengurangi jarak pengiriman limbah. Konsep ini dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kerja sama antar badan pemerintah di wilayah tersebut dan juga dengan pengelola limbah swasta.

Pembicara selanjutnya, Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, Ir. Sinta Saptarina Soemiarno, M.Sc. bertanggung jawab untuk memastikan pengelolaan limbah, termasuk limbah medis baik dari swasta maupun publik sudah benar dan sesuai regulasi. Namun, belum ada terminologi pasti mengenai definisi limbah medis, sehingga regulasi mendifinisikan limbah medis sebagai limbah B3 yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes). Kasus pembuangan limbah B3 ilegal terutama dari fasyankes sudah banyak terjadi di Indonesia, salah satunya adalah kasus yang viral pada akhir 2017 silam. Ditemukan penumpukan limbah medis ilegal (estimasi jumlah tumpukan sebanyak 7778 ton) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) liar di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat yang dilakukan oleh oknum perusahaan jasa pengelolaan limbah medis. Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 bekerja sama dengan Direktorat Penegakan Hukum (Gakkum) menangani permasalahan tersebut. Direktorat Gakkum berupaya melakukan penyelidikan untuk menangkap pelaku, sementara Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah menindaklanjuti pengelolaan sampah medis ilegal (mencapai 26 truk) tersebut dengan memindahkannya ke penimbunan sampah yang ada di Jawa dan fasilitas pengolahan limbah di Tanur Semen. Selain itu, DPKPLB3 menutup enam pengolah limbah medis sehingga terjadi lonjakan penumpukan limbah medis di rumah sakit (diperkirakan sekitar 294 ton per hari). Sampai awal tahun 2019, terdapat beberapa Rumah Sakit berizin dan perusahaan pengolahan limbah medis yang bermasalah, karena limbah medis tidak diolah secara benar sesuai dengan peraturan perundangan. Untuk Jawa sendiri timbulannya lebih kurang dari 6 ton per hari, dan 3 ton per hari tidak terkelola dengan baik. Oleh karena itu,  DPKPLB3 meminta pabrik semen untuk memusnahkan tumpukan limbah medis

Kebijakan mengenai pengelolaan limbah B3 di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai regulasi, diantaranya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Regulasi tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Untuk mekanisme pengaturan pengelolaan limbah B3 Fasyankes mengacu pada Berdasarkan Permenlhk No. P-56/2015 dengan rincian: Pengurangan dan Pemilahan merupakan Kewajiban Penghasil; Pewadahan & Penyimpanan harus memiliki izin penyimpanan yang diterbitkan oleh Kab/kota; Pengangkutan harus berdasarkan persetujuan Dinas LH kab/kota; Pengolahan harus berdasarkan izin yang diterbitkan oleh KLHK; Penguburan harus ada persetujuan Dinas LH kab/kota; dan penimbunan harus berdasarkan persetujuan Dinas LH kab/kota. Dalam Rapat Koordinasi Alokasi Program Nasional Bappenas 2020 tanggal 11 Juli 2019 di Jakarta, muncul beberapa usulan pemilihan lokasi pengolahan limbah B3 Fasyankes berdasarkan kriteria yaitu: Belum terdapat sarana pengolah limbah medis di provinsi tersebut, Pemda memiliki komtimen dalam pengelolaan limbah medis, memiliki ketersediaan lahan sesuai peruntukannya, telah memiliki Struktur Organisasi Pengelolaan Sampah atau sejenisnya yang juga dapat dikembangkan sebagai Unit Pengelolaan Limbah B3, memiliki lahan yang disediakan sesuai Zona (Perda RUTR), pemda mampu menyiapkan Dokumen Lingkungan, dan pemda memnbuat Perda retribusi