18 Desember 2024
Pandemi COVID-19 telah meninggalkan jejak yang mendalam pada sistem kesehatan Indonesia, termasuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk menganalisis bagaimana pandemi telah mengubah cara kerja JKN serta tantangan dan peluang yang muncul, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) mengadakan webinar memperingati 10 tahun kebijakan JKN pada Rabu, 18 Desember 2024. Acara ini merupakan pertemuan kedua dalam rangkaian diskusi yang mengulas dinamika pelaksanaan JKN, baik pada masa pandemi COVID-19 (2020-2022) maupun pasca-pandemi (2023-sekarang).
Kegiatan ini terdiri dari dua sesi utama. Sesi 1 membahas Dinamika Pelaksanaan JKN pada Masa Pandemi COVID-19 (2020-2022), dan Sesi 2 membahas Dinamika Pelaksanaan JKN Pasca Pandemi COVID-19 (2023-sekarang). Masing-masing sesi terdiri dari empat sub-bab pembahasan sebagai berikut:
- Pengantar
- Kebijakan Pendanaan Kesehatan pada Masa Pandemi COVID-19 (2020-2022)
- Kebijakan-kebijakan di luar Pendanaan
- Analisis Keseluruhan
Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh moderator Adinda Almira, S.Tr.RMIK dan dilanjutkan dengan sesi pertama yang membahas perkembangan pelaksanaan JKN selama masa pandemi COVID-19.
Sesi 1: Dinamika Pelaksanaan JKN pada Masa Pandemi Covid19 (2020-2022)
Sesi 1 dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD, yang membahas perjalanan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah beroperasi selama sepuluh tahun dan mengalami perubahan signifikan, terutama setelah pandemi COVID-19. Pandemi ini mendorong percepatan reformasi dalam sistem kesehatan Indonesia, yang dikenal sebagai Transformasi Sistem Kesehatan, yang mengarah pada perubahan struktural cepat dengan fokus pada penguatan dasar hukum, salah satunya melalui penerapan Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Selama pandemi, pemerintah mengambil alih pembiayaan untuk pasien COVID-19, menciptakan surplus anggaran dan memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana sistem kesehatan dapat beradaptasi dan merespons keadaan darurat dengan cepat dan efektif.
Selanjutnya, materi tentang Kebijakan Pendanaan dipaparkan oleh M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH, yang menjelaskan bahwa pendanaan selama pandemi COVID-19 mencakup kebijakan refocusing dan realokasi anggaran untuk sektor kesehatan. Pemerintah Indonesia merespons situasi ini dengan mengalokasikan anggaran lebih besar untuk sektor kesehatan, termasuk melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan peningkatan anggaran Kementerian Kesehatan untuk pengadaan alat pelindung diri (APD), vaksin, serta insentif bagi tenaga kesehatan. Selain itu, filantropi juga berperan penting dalam mendukung pengadaan alat kesehatan tanpa menggantikan fungsi BPJS. Selama pandemi, pemerintah memberikan subsidi kepada pasien COVID-19, yang mengarah pada surplus dana BPJS.
Elisabeth Listyani, SE., MM menjelaskan kebijakan di luar pendanaan, khususnya mengenai pemerataan rumah sakit. Ia menyampaikan bahwa jumlah rumah sakit di Indonesia meningkat secara rata-rata 2% per tahun, dengan pertumbuhan rumah sakit swasta yang lebih agresif dibandingkan rumah sakit publik. Namun, pemerataan fasilitas kesehatan antarwilayah masih menjadi tantangan, di mana beberapa wilayah mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan lainnya. Meskipun regulasi baru di beberapa wilayah telah mendorong peningkatan jumlah rumah sakit, ketimpangan antarwilayah tetap menjadi masalah yang memerlukan perhatian lebih lanjut.
Lalu pada Kebijakan SDM Kesehatan yang disampaikan oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH, disebutkan bahwa selama pandemi, kebijakan SDM kesehatan difokuskan pada peningkatan jumlah tenaga kesehatan dan pemberian insentif untuk mengatasi beban kerja yang tinggi. Program Tenaga Cadangan Kesehatan (TCK) dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan menjadi langkah penting dalam memperkuat sistem kesehatan. Namun, tantangan besar tetap ada, seperti ketimpangan distribusi tenaga kesehatan antarwilayah dan beban kerja yang berlebihan, yang memerlukan perhatian lebih lanjut.
Pada Kendali Mutu dan Biaya, Eva Tirtabayu Hasri, MPH menjelaskan bahwa pengendalian mutu dan biaya selama pandemi menjadi krusial untuk menjaga keberlanjutan layanan kesehatan. Pemanfaatan teknologi seperti telemedicine meningkat, meskipun keterbatasan sinyal di beberapa daerah menghambat implementasinya. Pengelolaan alat pelindung diri (APD) dan audit medis tetap dilakukan meskipun ada tantangan dalam transparansi dan pengawasan. Meskipun menghadapi tekanan besar selama pandemi, prinsip perbaikan berkelanjutan tetap diterapkan untuk menjaga mutu pelayanan.
Pembicara terakhir, drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE, membahas mengenai fraud yang diperburuk oleh pandemi COVID-19 dalam program JKN. Selama masa pandemi, pengawasan terhadap fraud di sektor JKN teralihkan ke isu fraud terkait penanganan pandemi, termasuk kasus korupsi bantuan sosial dan manipulasi klaim rumah sakit. Fraud COVID-19 memiliki karakteristik berbeda, terutama terkait dengan sumber pembiayaan dan pelaksanaan yang melibatkan individu dengan kewenangan besar. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan penguatan sistem pengawasan yang responsif dan transparan.
Untuk menutup Sesi 1, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD menyampaikan analisis keseluruhan bahwa periode pandemi (2020–2022) merupakan masa luar biasa yang harus dipisahkan dari perjalanan normal JKN. Perubahan besar dalam sistem pendanaan dan operasional menandai perbedaan antara periode sebelum, selama, dan setelah pandemi. Pada 2020–2022, sistem pendanaan beralih dari model reguler ke model pendanaan wabah, yang menekankan penanganan langsung pandemi. Pada 2024, sistem kembali ke model JKN reguler dengan penyesuaian berdasarkan pelajaran dari pandemi, yang memberikan pelajaran penting untuk meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan sistem kesehatan nasional.
Sesi 2: Dinamika Pelaksanaan JKN Pasca Pandemi Covid19 (2023-saat ini)
Sesi 2 dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD, yang menyoroti pentingnya transformasi sistem kesehatan di Indonesia pasca-pandemi COVID-19. Transformasi ini diibaratkan sebagai metamorfosis, menggambarkan perubahan cepat dan mendalam dalam sistem kesehatan. Namun, keberhasilan kebijakan transformasi ini sangat bergantung pada dasar hukum yang kuat, yakni Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Prof. Laksono menggarisbawahi bahwa tanpa dukungan hukum yang solid, transformasi tidak akan berjalan efektif. Beliau juga menekankan pentingnya alokasi anggaran yang efisien untuk memastikan keberlanjutan sistem kesehatan dan pemerataan layanan.
Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH, memaparkan perubahan signifikan dalam kebijakan pendanaan kesehatan pasca-pandemi COVID-19. Meskipun PDB Indonesia turun pada 2020, anggaran kesehatan terus meningkat sebagai komitmen pemerintah memperbaiki layanan kesehatan. Pemerintah merespons pandemi dengan melakukan refocusing dan realokasi anggaran melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020, untuk pengadaan alat kesehatan dan dukungan tenaga medis. Selama pandemi, pemerintah menanggung biaya perawatan COVID-19, menyebabkan surplus anggaran BPJS. Namun, tantangan utama adalah keberlanjutan finansial, dengan ketergantungan pada pendanaan publik yang tinggi dan rasio pajak yang relatif rendah, sehingga perlu solusi jangka panjang untuk memastikan sistem kesehatan berkelanjutan dan mengoptimalkan sumber pendanaan dari sektor swasta dan masyarakat.
Selanjutnya, Elisabeth Listyani, SE., MM membahas mengenai upaya pemerataan fasilitas kesehatan pasca-pandemi, terutama terkait dengan rumah sakit. Meskipun ada peningkatan jumlah rumah sakit, terutama rumah sakit swasta, ketimpangan antar wilayah masih menjadi tantangan besar. Pemerintah telah mendorong regulasi baru untuk meningkatkan jumlah rumah sakit di daerah yang kurang berkembang, namun pemerataan kapasitas dan akses layanan kesehatan masih memerlukan perhatian lebih lanjut, terutama terkait dengan peningkatan klaim BPJS yang dapat membebani sistem keuangan kesehatan.
Pada bagian kebijakan SDM kesehatan pasca-pandemi yang disampaikan oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH yang berfokus pada distribusi tenaga kesehatan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (DTPK). Pemerintah berencana untuk menambah kuota beasiswa bagi tenaga kesehatan dan mempercepat program-program pendidikan tenaga medis melalui sistem kesehatan akademik. Meskipun jumlah tenaga kesehatan meningkat, distribusi tenaga medis seperti dokter dan dokter spesialis masih kurang merata. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pemerataan tenaga medis, tetapi juga berpotensi meningkatkan biaya layanan kesehatan.
Eva Tirtabayu Hasri, MPH juga menyampaikan pada bagian kendali mutu dan biaya dalam system Kesehatan pasca pandemi. Regulasi baru tentang jalur klinis (clinical pathway) di rumah sakit telah diterapkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Namun, masih ada tantangan dalam mendefinisikan kendali mutu dan biaya secara spesifik di Indonesia. Meskipun sudah ada pedoman untuk implementasi jalur klinis, penting untuk memastikan konsistensi dalam penerapannya di seluruh rumah sakit. Pertemuan nasional Tim Kendali Mutu dan Biaya (TKMKB) juga telah dilakukan untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar unit dalam sistem kesehatan.
Materi terakhir mengenai Fraud yang disampaikan oleh drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE. Beliau mengungkapkan bahwa masalah fraud dalam program JKN semakin memperburuk kondisi sistem kesehatan selama pandemi. Banyak praktik fraud yang terjadi terkait dengan penanganan pandemi, seperti korupsi bantuan sosial dan manipulasi klaim rumah sakit. Meskipun tidak ada kebijakan baru yang signifikan, penguatan pengawasan dan transparansi menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini. Tim Penelusuran Klaim JKN (TPKJN) telah melakukan penelusuran klaim pasca-pandemi untuk mencegah kerugian akibat fraud dan meningkatkan akuntabilitas sistem kesehatan.
Sebagai penutup, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD menganalisis perkembangan ekonomi dan kebijakan kesehatan di Indonesia pasca-pandemi. Beliau mencatat bahwa meskipun ada pertumbuhan positif dalam PDB, belanja kesehatan Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Klaim BPJS Kesehatan menunjukkan tren peningkatan, yang menimbulkan kekhawatiran akan defisit sistem kesehatan. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan kebijakan pendanaan yang dapat mendukung keberlanjutan sistem kesehatan, dengan memperhatikan tantangan dalam pemerataan akses dan kualitas layanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.
Webinar Sesi 3, akan membahas analisis kebijakan pendanaan dari tahun 2014-2022 dalam perspektif reformasi sektor kesehatan dan keberlanjutan JKN, yang akan diselenggarakan pada Senin, 30 Desember 2024, pukul 13.00 – 15.00 WIB.
Penyelenggara Acara: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FKKMK UGM
Reporter: Fadliana Hidayatu Rizky Uswatun Hasanah