Reportase Webinar
“Pasca UU Kesehatan 2023 dan dilantiknya Kepala Daerah: Apakah Dinas Kesehatan perlu Merevisi Renstranya?”
Kamis, 20 Maret 2025
Departemen Health Policy And Management dengan Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (KMPK) program studi Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menyelenggarakan Webinar dengan tema “Pasca UU Kesehatan 2023 dan dilantiknya Kepala Daerah: Apakah Dinas Kesehatan perlu Merevisi Renstranya?” yang bertujuan untuk mengembangkan kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan dalam melakukan respon terhadap dinamika lingkungan yang ada. Kegiatan ini dibuka oleh moderator dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD (Dosen Departemen KMK FKKMK UGM), dilanjutkan pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Guru Besar Departemen KMK FKKMK UGM) serta pemaparan oleh narasumber dr. Jusi Febrianto, MPH (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga) dan drg. Iien Adriany, M.Kes (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Pengantar : oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Guru Besar Departemen KMK FKKMK UGM)
Webinar ini dibuka dengan pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD selaku Guru Besar Departemen KMK FKKMK UGM yang membahas dinamika sektor kesehatan serta implikasi kebijakan terbaru terhadap perencanaan strategis Dinas Kesehatan. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menyoroti perubahan mendasar akibat UU Kesehatan 2023 dan PP 28 Tahun 2024, serta peran kepala daerah hasil Pilkada 2024 dalam menyusun RPJMD yang mengacu pada RPJMN dan RIBK. Transformasi sistem kesehatan menuntut pendekatan sense making agar Dinkes mampu beradaptasi sebagai regulator dan koordinator daerah. Dengan dihapusnya mandatory spending dan pergeseran ke skema RIBK, perencanaan kesehatan daerah harus lebih fleksibel dan berbasis kebutuhan. Webinar ini juga menegaskan pentingnya good governance, sinergi antar pemangku kepentingan, serta revisi Renstra Dinkes agar selaras dengan kebijakan nasional dan tantangan kesehatan masa depan.
Pemaparan Materi
Pemaparan materi pertama disampaikan oleh dr. Jusi Febrianto, MPH selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga yang membahas dampak kebijakan terbaru terhadap perencanaan strategis kesehatan daerah. Salah satu perubahan signifikan adalah pemangkasan masa jabatan bagi 185 kepala daerah akibat Pilkada serentak 2024, yang menyebabkan penyusunan RPJMD harus diselesaikan dalam waktu enam bulan setelah pelantikan. RPJMD tetap berpedoman pada dokumen perencanaan nasional seperti RPJMN, RPJPD, RTRW, dan RKPD, tetapi perlu disesuaikan dengan visi dan misi kepala daerah baru yang dapat membawa pergeseran prioritas pembangunan. Selain itu, UU Kesehatan 2023 dan PP 28 Tahun 2024 menegaskan peran Dinas Kesehatan sebagai regulator dan koordinator daerah yang harus beradaptasi dengan kebijakan nasional, termasuk penerapan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dalam perencanaan daerah untuk memastikan sinkronisasi pusat dan daerah. RPJMD yang telah ada sebenarnya tetap berlaku, namun tetap perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan regulasi terbaru, terutama dalam aspek pembiayaan yang sebelumnya berbasis mandatory spending kini digantikan oleh RIBK. Evaluasi capaian kinerja sebelumnya menjadi bagian penting dalam penyusunan Renstra Dinas Kesehatan, dengan memastikan integrasi kebijakan melalui analisis strategi dan sistem evaluasi yang berbasis bukti agar kebijakan yang diterapkan lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Tantangan utama dalam revisi Renstra Dinas Kesehatan meliputi keterlambatan terbitnya Renstra Kementerian Kesehatan dan Renstra Dinas Kesehatan Provinsi, perubahan prioritas pembangunan oleh kepala daerah baru, serta penyesuaian terhadap UU Kesehatan 2023, RIBK, dan RPJMN yang baru. Setiap kepala daerah memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, sehingga penting untuk menyelaraskan tujuan dalam penyusunan RPJMD guna memastikan kesinambungan kebijakan kesehatan. Selain itu, sinkronisasi pusat dan daerah menjadi aspek krusial agar kebijakan kesehatan daerah tetap selaras dengan program nasional serta memiliki arah yang jelas dalam implementasinya. Penyelarasan indikator kinerja, target, dan arah kebijakan dalam Renstra periode 2026-2030 perlu dilakukan dengan mempertimbangkan regulasi terbaru dan koordinasi dengan OPD terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Oleh karena itu, revisi Renstra Dinas Kesehatan bukan hanya keharusan administratif, tetapi juga langkah strategis dalam memastikan efektivitas dan keberlanjutan program kesehatan daerah sesuai dengan dinamika kebijakan nasional serta tantangan yang berkembang.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh drg. Iien Adriany, M.Kes – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjelaskan bagaimana perubahan kepemimpinan daerah pasca Pilkada 2024 mempengaruhi perencanaan strategis sektor kesehatan. Pemimpin baru membawa visi, misi, dan prioritas berbeda, yang membuat revisi Renstra Dinas Kesehatan menjadi kebutuhan mendesak. Pergeseran kebijakan ini juga dipengaruhi oleh Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK), kepentingan kepala daerah baru, serta keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Beberapa kepala daerah yang berlatar belakang kesehatan, seperti gubernur NTT yang seorang apoteker serta beberapa bupati dan walikota yang merupakan dokter, diperkirakan akan lebih memahami pentingnya perencanaan kesehatan. Namun, implementasi kebijakan tetap menghadapi tantangan, termasuk kesinambungan program, keterbatasan anggaran, serta kebutuhan advokasi agar janji politik kepala daerah tetap realistis dan dapat diimplementasikan sesuai kapasitas daerah.
Tantangan utama dalam penyusunan Renstra Dinas Kesehatan di NTT meliputi efisiensi anggaran nasional yang mempengaruhi program daerah, dominasi pengeluaran BPJS Kesehatan hingga 80% dari total anggaran, serta masih belum optimalnya pemanfaatan penjamin kesehatan eksternal seperti Taspen dan ASABRI. Selain itu, utang daerah, kebutuhan anggaran untuk visi presiden, serta penyelarasan program dengan organisasi perangkat daerah lainnya menjadi faktor krusial dalam perencanaan. Kesinambungan program menjadi aspek penting, mengingat perubahan kepemimpinan sering kali diikuti perubahan selera kebijakan. Oleh karena itu, revisi Renstra harus mempertimbangkan ketajaman indikator, contingency planning, serta sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk swasta, akademisi, organisasi profesi, dan masyarakat. Dengan pendekatan yang matang dan kolaborasi yang kuat, perubahan Renstra dapat menjadi peluang strategis untuk memperkuat sistem kesehatan daerah.
Sesi Diskusi
Sesi diskusi dalam webinar ini membahas berbagai tantangan dan strategi dalam penyusunan Renstra Dinas Kesehatan pasca perubahan kepemimpinan daerah dan kebijakan baru. Menanggapi kepala daerah yang tidak memasukkan aspek kesehatan dalam visi misinya, dr. Jusi menekankan pentingnya advokasi dari tenaga kesehatan agar isu kesehatan tetap menjadi prioritas. Dalam menghadapi hilangnya mandatory spending, ia menyatakan bahwa anggaran yang ada harus dioptimalkan dengan mencari peluang pendanaan lain, seperti proyek-proyek dari pemerintah pusat. Dr. Iien menambahkan bahwa kreativitas diperlukan, termasuk memanfaatkan mitra non-kesehatan, mahasiswa KKN, serta teknologi digital. Prof. Laksono menyoroti permasalahan di NTT, di mana alokasi dana BPJS lebih banyak masuk ke pusat dibandingkan yang kembali ke daerah, sehingga dikhawatirkan daerah kesulitan membayar dokter. Selain itu, keterbatasan anggaran akibat utang daerah menyebabkan pengelolaan anggaran semakin ketat, dengan alokasi yang tersisa hanya cukup untuk gaji pegawai.
Diskusi juga membahas indikator kinerja dalam Renstra, khususnya terkait stunting. Dr. Iien sepakat bahwa indikator keberhasilan seharusnya mengukur cakupan program, bukan hanya angka stunting yang rawan manipulasi. Strategi penyelarasan RIBK dengan Renstra baru menjadi tantangan, karena tidak selalu ada keselarasan antara provinsi dan daerah. Dr. Jusi menekankan perlunya komunikasi dengan Bappelitbangda agar program pusat tetap bisa diakomodasi di daerah, sementara dr. Iien menyoroti kendala anggaran yang tidak selalu tersedia meskipun program sudah dirancang. Mengenai analisis peluang dan tantangan dalam penyusunan Renstra, dr. Iien merekomendasikan analisis SWOT, sementara dr. Jusi menekankan pentingnya respons cepat terhadap perubahan regulasi. Tantangan lain adalah efisiensi anggaran yang semakin membatasi ruang gerak daerah dalam mencapai target kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif dalam penyusunan Renstra, termasuk melibatkan NGO dan akademisi dalam policy brief, menjadi salah satu strategi yang disarankan untuk memperjuangkan kebutuhan daerah ke tingkat pusat.
Kesimpulan
OPD memiliki ruang untuk menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap kebijakan pusat dan inovasi daerah, di mana mereka perlu menyesuaikan Renstra agar selaras dengan visi-misi kepala daerah serta regulasi nasional, namun tetap bisa berinovasi dalam strategi pelaksanaan dan optimalisasi sumber daya yang tersedia. Dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs), revisi Renstra Dinas Kesehatan berperan penting dalam pencapaian SDG 3 (Good Health and Well-being) melalui penguatan sistem kesehatan yang adaptif dan berkelanjutan, serta SDG 17 (Partnerships for the Goals) dengan mendorong kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor swasta. Penyelarasan kebijakan nasional dan daerah yang efektif akan mendukung akses layanan kesehatan yang berkualitas, mengurangi kesenjangan kesehatan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Reporter :
Fadliana Hidayatu Rizky Uswatun Hasanah, S.Tr.Keb, Bdn
Putri Ardhani, M.KM
Iztihadun Nisa, SKM, MPH
Millean Rahman Hakim, S.Gz., Dietisien