Kaum muda di Indonesia, khususnya Milenial dan Gen Z, sangat rentan mengalami gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perhatian. Survei menunjukkan satu dari tiga remaja mengalami masalah ini, namun hanya sekitar 10% yang mendapat penanganan profesional. Banyak faktor membuat kaum muda enggan ke psikolog, seperti minimnya literasi kesehatan mental, rasa malu akibat stigma negatif, keterbatasan akses layanan, respons buruk dari tenaga kesehatan, serta mahalnya biaya terapi non-BPJS. Gangguan mental pada remaja dapat berdampak serius, mulai dari penurunan fungsi sosial hingga risiko menyakiti diri.
Oleh karena itu, penting bagi keluarga dan sekolah untuk menjadi pendukung utama dalam mendeteksi dini gejala gangguan mental. Meningkatkan literasi kesehatan mental, menciptakan lingkungan yang suportif, serta memanfaatkan teknologi seperti fitur digital dari Kemenkes dapat membantu mendorong kaum muda mencari pertolongan lebih cepat dan tepat. Literasi yang baik juga membantu mencegah stigma, memperkuat pemahaman, serta mendorong perubahan perilaku dalam mengakses layanan psikologis.
Selain itu, pemerintah memiliki peran penting dalam memperluas akses layanan kesehatan mental yang ramah dan terjangkau. Upaya seperti pelatihan tenaga kesehatan, peningkatan jumlah fasilitas di daerah, serta penguatan layanan digital dapat menjadi solusi jangka panjang. Dengan kolaborasi antara individu, keluarga, institusi pendidikan, tenaga medis, dan pemerintah, stigma terhadap gangguan mental dapat ditekan dan kaum muda lebih mudah mendapat dukungan yang mereka butuhkan.