Reportase
“Penggunaan dan Pemanfaatan Penilaian Kematangan Digital (DMI) pada Rumah Sakit“
24 Oktober 2024
Pada sesi pemaparan materi diawali oleh Dr. dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo, Dosen dan Peneliti di Departemen Health and Policy Management, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawaran, Universitas Gadjah Mada. Dalam pemaparannya, dr. Guardian menjelaskan bahwa guna mencapai transformasi kesehatan digital, Kementrian Kesehatan memiliki 9 rencana strategis dimana salah satunya adalah persentase fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi kematangan digital (digital maturity) tingkat rumah sakit sehingga seluruh fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib mengadopsi teknologi digital.
dr. Guardian menyampaikan beberapa hal pentingnya dilakukan penilaian kematangan digital di rumah sakit. Dikatakan bahwa penilaian DMI rumah sakit berguna untuk menilai seberapa baik penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan medis di fasyankes, membuat rekomendasi prioritas pengembangan kesehatan digital, roadmap implementasi kesehatan digital, rencana investasi kesehatan digital, identifikasi kendalam implementasi kesehatan digital, dan benchmarking adopsi inovasi digital. Dr. Guardian juga menyampaikan bahwa dalam implementasinya masih terdapat adanya tantangan seperti tingginya biaya untuk membeli sistem RME, minimnya staf IT yang memadai, keamaan data dan gangguan dalam perawatan selama penerapan.
Selanjutnya, pada sesi narasumber yang kedua berbagi tentang “Manajemen sumber daya dan Penggunaan teknologi informasi untuk mendukung penerapan RME yang interoperable dan aman di rumah sakit” oleh dr. Agus Mutamakin, M.Sc, selaku kompartemen data dan informasi PERSI. dr. Agus menjelaskan bahwa melalui DMI, rumah sakit dapat melakukan penilaian posisi dalam tahapan transformasi, membuat tujuan dan rencana jangka pendek dan panjang, serta investasi proyek transformasi yang dapat memberikan dampak yang signifikan. Dalam pelaksanaanya, rumah sakit seharusnya membantuk tim yang terditi dari manajemen, IT dan klinis guna melakukan asesmen DMI.
Dalam penjelasannya, dr. Agus juga menguraikan 7 tahapan adopsi RME mulai dari 0 yang artinya belum adanya penerapan RME. Tahap 1 sudah ada RME namun terbatas pada regirtrasi kunjungan pasien, pencatatan tindakan medis dan diagnosa. Tahap 2 adanya penambahan dokumentasi klinis teks dan peresepan obat. Kemudian tahap 3 terdapatnya dokumentasi klinis terstruktur, laporan tindakan medis dan dispense obat. Tahap 4 adopsi RME cukup komplek dengan adanya tambahan fitur orfer tindakan penunjang, SI penunjang medis dan pendukung keputusan klinis sederhana. Tahap 5 yaitu adanya pencatatan pemberian obat dan PACS. Tahap 6 yaitu adanya dokumentasi klinis template terstruktur dan pendukung keputusan klinis lanjut, kemudian yang paling tinggi yaitu tahap 7, rumah sakit telah mencapai RME yang paripurna dan mampu menerapkan analitik data klinis.
Poentoro, S.Si., M.Kom sebagai narasumber ketiga menyampaikan terkait arsitektur sistem informasi, infrastruktur komunikasi data elektronik. Terdapat tiga hal penting dalam perencanaan dan pelaksanaan SIMRS-RME diantaranya yaitu software yang kemudian lebih dikenal dengan sistem informasi dan infrastruktur TIK, hardware dan network serta brainware. Mengingat kompleksnya proses bisnis rumah sakit, maka arsitektur minimal dan variabel SIMRS yang wajib ada di rumah sakit guna mengakomodir kebutuhan informasi yaitu adanya front office untuk kegiatan registrasi dan pembayaran, back office yang meliputi kegiatan manajemen, perencanaan, dan monitoring pelaksanaan RME serta ketiga yaitu data mining.
Poentoro selanjutnya menjelaskan secara lebih detail terkait insfrastruktur yang perlu ada dalam tiga bagian rumah sakit. Dalam infrastruktur front office, rumah sakit dapat menggunakan antrian online berupa mobile JKN, mobile RS, website dan RME serta sudah menerapkan finger print. Dalam insfrastruktur ruang pelayanan, setidaknya terdapat perangkat komputer dan mobile yang mendukung penerapan RME. Kemudian adanya infrastruktur LIS dan PACS, infrastruktur pembayaran seperti cash less dengan QRIS dan virtual akun. Seluruh infrastruktur tersebut dapat berjalan dengan adanya dukungan SDM IT.
Sesi keempat mendiskusikan terkait Keamanan sistem informasi, Privasi, dan Kerahasiaan Data yang disampaikan oleh Ir. Tony Seno Hartono, M.I.Kom, selaku kompartemen data dan informasi PERSI dan IT/Cloud advocate. Ir. Tony Seno menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan RME, penggunaan PACS mampu meningkatkan efisiensi. Dijelaskan bahwa perlindungan data sangat penting sehingga harus memahami dasar dari filosofinya. Keamanan yang baik dalam rumah sakit harus proaktif dan reaktif dengan tiga prinsip utama yaitu kerahasiaan, integritas dan ketersediaan. Indonesia sendiri mewajibkan adanya DPO di dalam rumah sakit dan organisasi besar yang memproses data dalam skala yang besar.
Dalam penjelasannya, Ir. Tony Seno menyebutkan bahwa setidaknya rumah sakit dapat menerapkan IOT untuk mendorong moderinasi seperti sensor temperatur dan detak jantung. Namun, isu klasik yang sering ada di rumah sakit indonesia adalah tidak adanya biaya karena kebutuhan terkait IT yang cukup mahal. Sehingga karyawan atau staf IT perlu membuat strategi agar rumah sakit mampu memenuhi kebutuhan IT, yaitu dengan menyelaraskan kebutuhan IT dengan tujuan bisnis. Sehingga, apabila hal tersebut dapat menguntungkan pasien seperti adanya sistem informasi berdampak pada naiknya jumlah kunjungan pasien datan, maka rumah sakit dapat mengakomodir hal tersebut mengingat hal yang dibutuhkan oleh IT dapat mempermudah pelayanan kepada pasien.
Sesi terakhir kembali disampaikan oleh Dr. dr. Guardian Y Sanjaya, MhlthInfo terkait manajemen dan tata kelola SIMRS, kepemimpinan dan sumber daya manusia dalam penerapan sistem informasi manajemen rumah sakit. Dijelaskan bahwa dalam fase pre – implementasi hal yang penting adalah adanya dukungan dan keputusan bagian manajemen tingkat atas, pemimpim manajemen trasnformasi digital perlu memiliki kredibilitas organisasi dengan para klinisi, dan rumah sakit sendiri dipastikan harus siap dalam perubahan digital. Rumah sakit perlu melibatkan pemangku kepentingan dalam fase pre – implementasi ini, juga perlu memilik produk RME dengn cermat dan melakukan migrasi serta integrasi data. Kemudian pada fase implementasi, bagian IT rumah sakit perlu melakukan desain ulang RME agar sesuai dengan praktik klinis dan alur kerja dokter, melakukan pelatihan awal dan berkelanjutan dalam menggunakan RME. Rumah sakit juga dapat melibatkan pihak ketiga untuk membantu dalam pemecahan masalah atau trouble-shooting. Saat pelaksanaan, rumah sakit harus melakukan monitoring dan evaluasi berkelanjutan. Sedangkan dalam fase paska implementasi, rumah sakit perlu mengambil langkah untuk mengembangkan RME yang berkelanjutan, memberikan pelatihan dan umpan balik untuk penggunaan RME yang lebih baik dan adanya insentif.
Diskusi pasca-pemaparan materi membahas beberapa pertanyaan terkait penilaian DMI di rumah sakit, seperti manajemen SDM IT dan tata kelola rumah sakit guna mendukung penilaian DMI. Ir. Tony Seno menekankan pentingnya SDM IT yang paham akan RME dan SIMRS dalam rumah sakit guna melakukan integrasi data rumah sakit. Ditekankan juga bahwa petugas sistem informasi, progamer dan teknisi jaringan dalam rumah sakit berbeda dan tidak dapat dilakukan oleh satu orang. Sehingga disarankan agar dapat melakukan perekrutan CISO. dr. Guardian juga menekankan akan pentingya melakukan pengisian DMI sehingga rumah sakit dapat mengetahui skor kematangan DMI yang nantinya dapat mengambil langkah untuk meningkatkan skor kematangan DMI.
Acara diakhiri dengan sesi sesi post test dan penutupan. Diharapkan webinar ini dapat mendorong seluruh fasilitas pelayanan kesehatan untuk bersama – sama mendukung proses digitalisasi sistem informasi dalam pelayanan kesehatan.
Penyelenggara Acara: Sistem Informasi Kesehatan, Health Policy and Management, FK-KMK UGM
Reporter: Putri Ardhani