MEDINFO 2025 : Healthcare Smart & Medicine Deep
MEDINFO 2025 adalah konferensi internasional terbesar di bidang informatika kesehatan yang diselenggarakan oleh International Medical Informatics Association (IMIA). Ajang ini mempertemukan peneliti, praktisi, perumus kebijakan, dan inovator dari seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan, riset terbaru, dan solusi digital dalam sistem kesehatan. MEDINFO diadakan setiap dua tahun sekali dan menjadi wadah strategis untuk memperkuat kolaborasi lintas negara dan sektor. Tahun ini tepatnya pada 9–13 Agustus 2025, MEDINFO digelar di Taipei International Convention Center (TICC), Taiwan, dengan tema “Healthcare Smart × Medicine Deep”. Konferensi ini berfokus pada bagaimana kecerdasan buatan dan teknologi informasi klinis mendalam dapat memperkuat sistem kesehatan global. MEDINFO tahun ini mengangkat 5 track utama diantaranya: Information and Knowledge Management, Human, Organizational, and Social Aspects, Health Data Science & Artificial Intelligence, Quality, Safety, & Outcomes, dan Global Health Informatics, delegasi internasional akan membahas berbagai isu dalam rangkaian presentasi, diskusi panel, workshop, hingga pameran teknologi kesehatan digital. Tim UGM mengikuti kegiatan tersebut dan akan melaporkan liputannya melalui website ini.
9 Agustus 2025
Retrieval-Augmented Generation (RAG): AI yang lebih pintar dan berbasis bukti
UGM-Taipei. Dari berbagai sesi tentang AI di MedInfo 2025, salah satu yang menarik adalah sesi tutorial mengenai Retrieval-Augmented Generation (RAG). Tutorial yang diselenggarakan di sesi pra konferensi, pada Sabtu (9/8/2025), disampaikan oleh Prof. Ping Yu (University of Wollongong), Prof. Hua Xu (Yale University), dan Prof. Rui Zhang (University of Minnesota). RAG merupakan teknologi untuk menggabungkan dan memperkuat sekaligus memperkaya Large Language Models (LLMs) dengan data lokal. Pendekatan ini bertujuan agar LLM menghasilkan keluaran yang akurat, relevan secara konteks, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, ini akan mengatasi kelemahan LLM murni seperti halusinasi dan algoritma bias.
Bagaimana sebenarnya cara kerja RAG?
RAG bekerja dengan menggabungkan kecerdasan LLM dan kekuatan pencarian informasi untuk menghasilkan jawaban yang akurat dan kontekstual. Prosesnya dimulai dari pertanyaan (query) yang diajukan pengguna, kemudian diubah menjadi representasi vektor oleh embedding model agar sistem dapat melakukan pencarian secara matematis. Vektor ini digunakan untuk mencari kemiripan di vector database lokal yang berisi dokumen dari berbagai sumber, seperti literatur medis, kebijakan rumah sakit, atau catatan klinis. Dari hasil pencarian, sistem mengambil dokumen yang paling relevan, lalu menggabungkannya dengan pertanyaan asli untuk membentuk prompt yang kaya konteks. Prompt ini diberikan ke LLM untuk menghasilkan jawaban yang sudah “di-grounding” dengan sumber data yang jelas, sehingga respons yang dihasilkan lebih tepat, transparan, dan dapat dilacak sumbernya.
Sumber: presentasi Rui Zhang
Secara arsitektur, RAG terdiri atas 3 komponen yaitu Indexer, Retriever dan Generator, yang bekerja secara berurutan untuk menghasilkan jawaban yang akurat dan berbasis sumber:
1. Indexer
- Fungsi: Memecah (split), meng-embed, dan meng-index data eksternal ke dalam vector database.
- Proses: Data terpercaya dari organisasi — seperti literatur medis, rekam medis, atau panduan klinis — diubah menjadi representasi vektor oleh embedding model. Representasi ini disimpan di vector database agar bisa dicari kembali dengan cepat.
- Peran: Menyiapkan dan mengorganisir pengetahuan eksternal sehingga siap digunakan saat ada pertanyaan baru.
2. Retriever
- Fungsi: Mencocokkan query embedding (vektor dari pertanyaan pengguna) dengan dokumen yang paling relevan di vector database.
- Metode: Bisa menggunakan pendekatan dense, sparse, atau hybrid retrieval untuk menemukan Top-N relevant documents.
- Peran: Memastikan sistem mengambil informasi yang benar-benar relevan dan sesuai konteks, sehingga mengurangi risiko informasi tidak tepat atau terlalu umum.
3. Generator
- Fungsi: Menggabungkan pertanyaan (query) dengan dokumen yang diambil (retrieved evidence) untuk menghasilkan jawaban (grounded output).
- Proses: Large Language Model (LLM) memproses prompt yang berisi pertanyaan plus informasi relevan, lalu membuat respons yang akurat, kontekstual, dan memiliki dasar bukti.
- Peran: Menyajikan jawaban akhir yang siap digunakan pengguna, dengan kualitas tinggi dan sumber yang dapat ditelusuri.
Sumber: Yang, Rui, et al. “Retrieval-augmented generation for generative artificial intelligence in health care.” npj Health Systems 2.1 (2025): 2
Dengan mekanisme ini, RAG membantu mengatasi keterbatasan LLM, seperti risiko halusinasi (jawaban yang tidak akurat atau mengada-ada) dan kurangnya konteks lokal. Selain itu, RAG memungkinkan pembaruan pengetahuan tanpa harus melatih ulang model, cukup dengan memperbarui isi vector database. Inilah yang membuat RAG sangat relevan untuk bidang kesehatan, di mana ketepatan informasi, dasar ilmiah, dan pembaruan cepat menjadi kunci dalam mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
Gambar 1. Pengantar tutorial oleh Prof. Ping Yu
Setelah pembukaan Prof Ping Yu, Prof. Hua Xu menyampaikan pengantar tentang evolusi AI dari model klasik hingga Generative AI, lalu memperkenalkan konsep RAG dan komponennya — indexer, retriever, dan generator. Dengan kemampuan tersebut, RAG mampu menghubungkan LLM dengan sumber pengetahuan dari organisasi saat inferensi, sehingga jawaban tidak hanya tepat tetapi juga berlandaskan bukti dalam praktik kesehatan berbasis data. Ada dua use case yang disajikan, yaitu RAG untuk menghasilkan sitasi dokumen yang akurat dalam penulisan publikasi serta RAG yang terintegrasi dengan RME untuk membantu tenaga kesehatan.
Selanjutnya, Prof. Rui Zhang membahas desain arsitektur RAG disertai dengan teknik untuk meningkatkan kinerja RAG. Ini mencakup metode untuk meningkatkan relevansi pencarian dengan re-ranker berbasis data domain spesifik, serta bagaimana mengoptimalkan pipeline RAG untuk memanfaatkan data terstruktur maupun tidak terstruktur secara bersamaan.
Sebelum sesi praktik, Prof. Ping Yu memaparkan metode untuk mengukur performa LLM yang mencakup akurasi, relevansi, dan interpretabilitas. Selain itu dibahas mengenai pentingnya pertimbangan etis, perlindungan privasi, mitigasi bias, serta kepatuhan terhadap regulasi untuk memastikan penerapan RAG yang aman dan bertanggung jawab.
Sesi tutorial diakhiri dengan hands-on workshop di Google Collab, dimana peserta mempelajari pipeline RAG sederhana menggunakan Python yang terhubung dengan model generatif seperti GPT. Latihan ini memberi pengalaman nyata mulai dari menyiapkan sistem retrieval, mengintegrasikan model generatif, mengoptimalkan dengan domain-specific embeddings, hingga menguji pada dataset kesehatan terde-identifikasi.
Materi ini menginspirasi peluang riset dan implementasi RAG di sektor kesehatan mulai dari pembelajaran, penelitian klinis, dan sistem pendukung keputusan klinis yang memanfaatkan data dan sumber pengetahuan kesehatan lokal. Dengan penguatan kapasitas teknis, integrasi etika, dan adaptasi pada kebijakan lokal, riset mengenai pemanfaatan RAG berpotensi untuk mendukung layanan kesehatan berbasis AI yang lebih akurat, bertanggung jawab dan terpercaya.
Reporter: Anis Fuad (UGM)
Tutorial “The state of the art of AI technology to medical image informatics – advantages, challenges and necessities”
This tutorial presents the state of the art in artificial intelligence (AI) for medical image informatics, highlighting applications in diagnostics, clinical decision support, and patient education. The session explored how AI is transforming diagnostics, clinical decision support, and patient education, while addressing the importance of explainable systems, strong data governance, interoperability standards, and multidisciplinary collaboration to ensure sustainable adoption.
Opening the session, Prof. Abu Bakar Labashe, Head of the Department of Computer Science at Middlesex University London, introduced the department’s cutting-edge research environment, with strengths in computer vision, cybersecurity, and IT innovation.
He was followed by Assoc. Prof. Mark (Ming-Chin) Lin, Vice President-elect of IMIA, who shared his work on the MiNiC Project, developing AI models for neuro-prognostication, and showcased the BRes CSS Brain Analysis Page, an EEG-based platform that assists clinicians in evaluating brain activity in injury patients. He also highlighted TMU SMART Hospital’s partnership with ASUS to deploy smartwatches for early cardiac arrest detection and reduced documentation time.
dr. Lutfan Lazuardi, Head of the Department of Health Policy and Management at UGM, emphasized the role of inter-, multi-, and transdisciplinary collaboration in driving digital health transformation in Indonesia. He introduced the DaSK initiative, designed to support policy-making through evidence synthesis. Complementing this, Chia-Hui Chien, an early career researcher in medical informatics, provided an overview of key health data repositories, such as Taiwan’s NHIRD, open databases, and PhysioNet, highlighting their value for AI-driven research.
The session also explored cross-disciplinary innovation with Dr. Guan-Lin Liu, who demonstrated how spectroscopy and AI can be combined for photon-based medical imaging, and even applied to cultural heritage preservation through XRF analysis to authenticate oil paintings. Dr. Rahmanti presented on the transformative potential of Large Language Models (LLMs) in healthcare, focusing on applications in electronic health records, clinical coding, and patient communication. Using stroke diagnosis as a case study, she discussed prompt engineering techniques and the importance of technical refinement, ethical oversight, and continuous expert validation.
From the perspective of environmental epidemiology, Dr. Amja Manullang shared a comparative study on ChatGPT, DeepSeek, and human reviewers for full-text screening in systematic reviews on air pollution and respiratory diseases. His findings showed that while LLMs demonstrated high sensitivity in identifying relevant studies, human oversight remains essential to address lower specificity.
The tutorial concluded with Prof. Xiaohong W. Gao of Middlesex University London, who provided an in-depth look at the evolution and potential of AI in healthcare. She examined supervised and unsupervised learning, advanced image synthesis methods such as Pix2PixHD, NLP evaluation metrics like BERTScore, and the integration of AI into digital twin technology for precision medicine. Her message was clear: AI holds immense promise, but its safe and effective integration depends on rigorous evaluation, domain-specific optimization, and alignment with clinical needs.
Through diverse international case studies and practical demonstrations, this tutorial offered participants a comprehensive understanding of AI’s capabilities in medical image informatics, underscoring the balance between technological innovation, ethical responsibility, and clinical relevance.
Reporter: Annisa Ristya (UGM)
FHIR FOR INFORMATICS INNOVATION
The session delivered by Daniel J. Vreeman—physiotherapist, bioinformatics physician, and interoperability expert from HL7 FHIR—provided an overview of the current global health IT landscape and interoperability context. Daniel highlighted that 45 out of 52 countries have reported having health data standard regulations. By 2025, FHIR is being utilized for a wide range of purposes, including data exchange between payer organizations, electronic reporting, and other applications, thereby fueling innovation in health informatics. He emphasized FHIR’s distinctive features, which include its strong implementation focus, API-based data exchange with a transformative and openly licensed approach, and its global adoption. Since its release in 2011, FHIR has become the most widely used standard, with essential aspects to understand being how information is exchanged, how terminologies are applied, and how data security is ensured. Importantly, FHIR is designed to accommodate extensions to suit local contexts, supporting flexibility and interoperability across diverse health systems.
The second speaker, Diego Kaminker, HL7 Deputy Chief Standards Implementation Officer (DCSIO) from HL7 International, presented the topic “FHIR for Informatics Innovators: HL7 Product Portfolio of FHIR Extending Technologies.” He introduced several FHIR-based products, one of which is CDS Hooks—a specification managed by the HL7 Clinical Decision Support (CDS) Workgroup. CDS Hooks enables the integration of additional, near real-time functionality directly into a clinician’s workflow within an electronic health record (EHR). Without this specification, each CDS system would require a different API, and each electronic medical record (EMR) system would need separate API access, creating inefficiencies. Diego explained that a standardized API is essential as it provides a unified way to discover and register services, establishes a framework for authorization and authentication, defines the context of use (identifying what activity in the EHR requires the service), facilitates the exchange of clinical patient data, and enables calling services to request relevant recommendations.
Diego further elaborated on the practical applications of CDS Hooks for improving health decision-making, such as enabling the review of patient education materials at the point of care and preventing medication interactions in real time.
He then introduced Bulk FHIR, a standard FHIR API designed specifically for the secure and efficient exchange of large volumes of healthcare data—often involving thousands or even millions of patient records. This is particularly relevant for population health, where challenges include ensuring data security, synchronizing processing, using efficient formats, and avoiding the inefficiencies of having a different API or extraction format for each EHR system.
Another key tool he discussed was CQL (Clinical Quality Language), a syntax and structure that enables the extraction of information from FHIR servers to calculate clinical quality measures, such as determining numerators and denominators. He also highlighted Questionnaires and the Structured Data Capture (SDC) framework, which define questions and possible answers, enabling the creation of electronic forms. These resources include metadata and item definitions, with each item representing a question that can be nested for complex data collection needs.
Diego also spoke about connectathons, organized as face-to-face or virtual events to test the implementation of specific FHIR guides. These events help evaluate the feasibility, maturity, and correctness of implementation guidelines within the community.
On a global scale, he shared progress updates on FHIR adoption. In Asia, documentation has expanded to include diagnostic and clinical reports, discharge summaries, and preventive care data. In Indonesia, the SATUSEHAT platform has been developed to register patients and provide them with access to their own health data via an application. In Latin America, a national training program has been launched to equip the entire public health system with skills in FHIR for creating shareable clinical records. In Africa, regulations have been published to support interoperability across the African Union.
Reporter: Hanifah Wulandari (UGM)
Engaging and Collaborative Approaches to Teaching Health Informatics with AI
Discussions:
Discuss the ethical considerations and potential biases that may arise from the use of AI in health informatics education. How can educators ensure that AI tools are used responsibly and fairly?
- Some participants say that AI can increase plagiarism, students may not fully understand the reference before they cite in and lack critical learning
- Forget about privacy and increase risk of cybersecurity
- Issue policies that address the proper use of AI ethically
- AI can be wrong, and students did not know is it right or wrong
- Need a standard inclusion and exclusion criteria for AI checking. AI could speak for all languages but we did not always understand the language.
Innovative assessment technique that can employ AI-assisted learning to improve the impact of student learning?
- Project based assessment, oral assessment, in person school-based assessment/direct interaction
- Country or school regulation on the use of AI in learning
- Generate learning data set for testing risk prediction model
- Clinical simulation scenarios
- Using AI to help students master a topic
- Using AI for grading system
- Using AI to create the scenario
- Using AI to provide feedback or checker (built by AI, checked by AI)
- Using AI as a debate opponent
How can AI-driven tools be utilised to foster collaborative learning environments? Potential of AI to facilitate group projects, peer to peer interaction, and community building among students?
- In project based assessment, use AI as a patients and the students can have different roles
- AI based project management tools, such as Trello with AI plugin, Notion AI, or ClickUp
- Example the use of AI that did not work? Even ChatGPT 5.0 still gives an incorrect answer. Engage other technology as an investment that can keep up the solution of incorrect AI answer, for example Canva to create learning materials (video/conversation)
- Students in different groups try to use AI and discuss the differences
Actions:
- IMIA Education & workforce work group re-established
- International recommendation (guidelines) about AI in health and medicine training
- Workshops and training to educators across institution and across traditional models e.g. micros, nanos; library of resources e.g. how to use AI in education, example, case study
- Established a community practice where people can share resource, experience, successful and challenges)
- Develop a university digital twin for university with freely accessible resources, allows safe area to test and experiment
Reporter: Hanifah Wulandari (UGM)
Handbook for Remote Care and Telehealth
UGM-Taipei. Dalam salah satu sesi Pre-Conference MedInfo 2025, Society for Administration of Telemedicine and Healthcare Informatics (SATHI), India, memaparkan inisiatif terbarunya untuk mengatasi kesenjangan pelayanan kesehatan di komunitas terpencil melalui pengembangan buku Handbook for Remote Care and Telehealth. Meskipun upaya global untuk mencapai kesetaraan kesehatan terus dilakukan, kesenjangan akses masih menjadi tantangan besar, terutama bagi masyarakat yang jauh dari fasilitas kesehatan.
Buku ini dirancang oleh penulis dari 10 negara untuk memberikan panduan praktis dalam memilih dan mengimplementasikan teknologi kesehatan digital di wilayah dengan akses terbatas. Kontennya akan mencakup rekomendasi berbasis pengalaman lapangan, panduan teknis, capacity building, implementasi, serta studi kasus yang relevan. Terinspirasi dari tingginya minat pada buku edisi pertama, namun terbatas pada akses karena harga yang cukup tinggi, edisi kedua ini akan tersedia secara gratis agar dapat diakses oleh tenaga kesehatan, peneliti, maupun masyarakat di daerah terpencil.
Proses penyusunan saat ini tengah berlangsung dengan target peluncuran pada Desember 2025. Tim mengundang kontribusi dari berbagai pihak, baik tenaga kesehatan, peneliti, hingga anggota komunitas, dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan wawasan. Harapannya, buku ini dapat menjadi sumber daya penting dalam memperluas jangkauan layanan kesehatan digital serta mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih merata bagi semua.
Reporter: Lusha Ayu Astari dan Ichlasul Amalia (UGM)
Towards an Open, Guideline-based, Trustworthy Ecosystem of Evidence: Using Fast Healthcare Interoperable Resources to Develop an Interoperable Registry for Clinical Guidelines in Germany and Beyond
Speaker: Sophie Klopfenstein
AWMF (Arbeitsgemeinschaft der Wissenschaftlichen Medizinischen Fachgesellschaften e. V.) https://www.awmf.org/, founded in 1962, is a non-profit association (eingetragener Verein, e.V.) and plays a central role in developing and publishing evidence-based clinical guidelines in Germany. The association acts as an umbrella organization for over 180 German medical societies.
The current direction of AWMF is to digitize a guideline registry using an interoperability ecosystem to ensure the delivery of evidence-based recommendations. There are similar attempts by different working groups such as EBM on FHIR and CPG on FHIR, projects like Digi-POD and CODEX that work on connecting guidelines to clinical data. The AWMF formed a task force to convert the AWMF’s analogue guideline register into a digital structure that meets (inter)national technical requirements with a project called DISSOLVE-E.
DISSOLVE-E projects began with preparation of a guidelines model, by mapping priorities and needs from many stakeholders, to ensure everything is being represented. The model was then used to design guidelines based on the FHIR R6 and the EBM Implementation Guide. The backbone of the IG uses lesser-used resources. Composition is used because it deems fit to define the structure and narrative content necessary for a document. ArtifactAssessment is used to represent artifact left by the health practitioner such as comment, classifications, ratings, questions, and responses. Organization and Persons also used to identify the one that made the clinical guidelines. The DISSOLVE-E model is thought to be preferable because it supports multilingual content and supports different representation levels from L1 to up to L4.
The next tutorial session is a hands-on experience on how the DISSOLVE-E team code the FHIR Implementation Guide using FSH. The requirements are to install VScode and the HL7 FHIR Shorthand Extention, or installing Sushi, or use the online converter FSH <> FHIR JSON. The material can be accessed through the DISSOLVE-E github page in the MedInfo branch.
Reporter: Fadhilah K. Larasati
11 Agustus 2025
Panel 2: The Latest in Healthcare AI Research – Applications, Advances, and Next Steps
Panellists: Li Zhou (Brigham and Women’s Hospital, Harvard Medical School), Suzanne Bakken (Columbia University), Hanna Suominen (Australian National University)
Chair: Maxim Topaz
Sesi ini membahas bagaimana kecerdasan buatan (AI) dapat mentransformasi layanan kesehatan secara bertanggung jawab dan efektif, melalui tiga perspektif utama.
Dr. Li Zhou – Brigham and Women’s Hospital, Harvard Medical School
Li Zhou memaparkan bagaimana AI telah mengubah lanskap kesehatan, mulai dari penelitian, pendidikan, hingga praktik klinis. Salah satu teknologi kuncinya adalah Large Language Models (LLM), yang mampu meningkatkan penalaran klinis, mendukung komunikasi multibahasa, serta membantu pengambilan dan meringkas informasi dari pola data yang kompleks.
Pihaknya menekankan bahwa pemilihan LLM harus mempertimbangkan konteks spesifik institusi, termasuk jenis data, alur kerja, dan aset pengetahuan. Dari tinjauan sistematis (systematic review) terhadap penelitian LLM berbasis real-world electronic health records (EHR) selama 2023–2024, ditemukan 196 studi yang mencakup berbagai domain klinis—seperti radiologi dan neurologi—dengan aplikasi pada dokumentasi medis, dukungan keputusan klinis, dan komunikasi pasien.
Kesimpulannya, meskipun LLM menawarkan potensi besar di dunia kesehatan, keberhasilannya bergantung pada evaluasi yang ketat. Diperlukan benchmark formal dan kerangka kerja yang terstandarisasi agar penerapan LLM benar-benar aman, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing institusi.
Dr. Suzanne Bakken – Columbia University
Suzanne Bakken membahas pentingnya menekankan equity dalam AI untuk kesehatan, dengan prinsip human-centeredness sebagai fondasi. Pendekatan ini menuntut penggabungan beragam sumber pengetahuan. Pembicara mengingatkan bahwa AI memiliki potensi memperkuat ketidakadilan epistemik dan kesenjangan kesehatan jika tidak dirancang dengan hati-hati.
Dalam konteks ini, pasien harus dipandang sebagai knowers—pemilik pengetahuan yang sah—dalam proses AI. Ia memaparkan strategi untuk melindungi hak kolektif pasien, termasuk: tata kelola yang dipimpin pasien, kewajiban independen terhadap pasien, transparansi, penentuan nasib sendiri, hak atas identitas, keamanan dan privasi, serta pembagian manfaat.
Kesimpulannya, AI yang etis dan berpusat pada manusia hanya dapat tercapai jika kita secara kritis menilai siapa saja yang “suaranya” absen dalam data, melibatkan pihak-pihak tersebut dalam seluruh siklus inovasi, menyediakan alat yang memungkinkan keterlibatan mereka secara bermakna, serta memastikan bahwa hasil AI dapat dipahami oleh semua pengguna yang menjadi sasaran.
Prof. Hanna Suominen – Australian National University
Hanna Suominen mengangkat topik personalisasi teknologi medis untuk diagnosis, pemantauan, dan perawatan yang lebih efektif. Pihaknya menyoroti tantangan keberlanjutan pemanfaatan penanda kesehatan (marker) seperti MRI, yang memerlukan akses ke fasilitas yang lebih lengkap.
Salah satu studi kasus yang berhasil adalah Objective FIELD analysis untuk pengujian lapang pandang, yang telah mendapatkan persetujuan FDA. Prof Hanna juga membahas potensi smart sensing, dimana ratusan alat pintar telah tersedia secara komersial yang dapat mengumpulkan data, diunduh, dan dianalisis untuk mendukung deteksi dini dan manajemen penyakit.
Kesimpulannya, masa depan layanan kesehatan yang lebih personal dan efektif membutuhkan sistem sensemaking yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan AI multimodal, sistem ini akan mampu mendukung deteksi dini, pemantauan penanda kesehatan, dan pengelolaan penyakit secara berkesinambungan, sehingga memberikan manfaat yang nyata dan konsisten bagi pasien.
Reporter: Lutfan Lazuardi (UGM)
Panel: Global Health Informatics: Universal Health Coverage
Portable Health Clinic (PHC): An Innovative Telehealth System for Reaching the Un-Reached Communities to Ensure Universal Health Coverage
Ketua: Prof Naoki Nakashima, Kyushu University
Panelis:
- Kimiyo Kikuchi, Kyushu University, Jepang
- Lutfan Lazuardi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
- Helen Benedict Lasimbang, Universiti Malaysia Sabah (UMS), Malaysia
- Faiz Shah, Asian Institute of Technology, Thailand
- Rafiqul Islam Maruf, Kyushu University, Japan
Sistem Portable Health Clinic (PHC) (https://portablehealth.clinic/) adalah model layanan telehealth portabel yang inovatif yang dirancang untuk memberikan perawatan kesehatan di komunitas terpencil dan kurang terlayani di negara-negara berkembang. Awalnya sistem ini merupakan hasil kolaborasi antara Bangladesh dan Jepang dan berfokus pada perawatan primer untuk penyakit tidak menular (NCDs). Saat ini sistem ini telah diperluas untuk mencakup layanan kesehatan ibu dan anak (MCH), perawatan mata dan masalah kesehatan lainnya dan diterapkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Desainnya yang modular memungkinkan sistem ini untuk diperluas berdasarkan kebutuhan komunitas di masing-masing negara. Pada sesi panel ini, akan mendiskusikan implementasi di beberapa negara melalui kemitraan penelitian lokal, dengan model layanan yang disesuaikan sesuai kebutuhan lokal di masing-masing negara.
Penerapan di Berbagai Negara
PHC telah diterapkan dengan model layanan yang beragam di beberapa negara:
Bangladesh dan India
Di Bangladesh, model PHC diadaptasi untuk layanan kesehatan ibu dan anak (MCH) di rumah, di mana petugas kesehatan menggunakan sensor portabel untuk mengumpulkan data dan mengirimkannya ke dokter jarak jauh. Sistem ini mendukung perawatan selama kehamilan hingga masa kanak-kanak. Selain itu, layanan tele-eyecare digunakan di 18 pusat penglihatan pedesaan, memungkinkan staf mengumpulkan data dan gambar retina pasien untuk konsultasi video dengan dokter mata di perkotaan. Melalui model ini, sekitar 10.000 pasien dilayani setiap bulan.
Di India, layanan pemeriksaan kesehatan menggunakan sistem PHC disediakan untuk lebih dari 800 pekerja pabrik susu di Jaipur. Studi ini bertujuan untuk menilai kesadaran dan kontrol terhadap hipertensi serta diabetes tipe 2. Hasilnya menunjukkan bahwa PHC berhasil meningkatkan kesadaran kesehatan dan hasil klinis di kalangan pekerja, menyoroti pentingnya pemeriksaan rutin di tempat kerja.
Indonesia
Penerapan PHC di Indonesia sebagai inovasi berbasis komunitas untuk meningkatkan layanan kesehatan, terutama untuk NCDs. PHC terbukti krusial selama pandemi COVID-19, dimana dipergunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan bagi peserta prolanis yang terdisrupsi pada saat pandemi, dan para pasien enggan datang ke puskesmas atau pusat pelayanan kesehatan karena memiliki morbiditas. Penerapan PHC yang awalnya hanya di 3 puskesmas, sekarang sudah berkembang dan diterapkan di beberapa puskesmas di beberapa daerah, di Sleman, Kulon Progo, Klaten dan Gunungkidul.
Pembelajaran penting dari Indonesia untuk memastikan PHC bisa berkesinambungan adalah menerapkan hal sebagai berikut:
Support national health agenda: Mendukung agenda prioritas kesehatan nasional untuk relevansi jangka panjang.
UHC achievement: Berkontribusi pada pencapaian Universal Health Coverage (UHC).
Community participation: Melibatkan masyarakat untuk memastikan program sesuai kebutuhan lokal.
Capacity building: Membangun kapasitas staf kesehatan untuk pelayanan yang efektif.
Existing system integration: Mengintegrasikan PHC dengan sistem kesehatan yang sudah ada untuk efisiensi.
Scalable: Membuat program dapat diperluas ke skala yang lebih besar.
Strengthening Health System: Memperkuat sistem kesehatan secara keseluruhan.
Malaysia
Sistem Portable Health Clinic (PHC) telah berhasil diimplementasikan di pedesaan Sabah, Malaysia. Program ini berhasil menjangkau sekitar 17.500 orang di wilayah Kudat, Sabah. Banyak area di Sabah yang tidak memiliki jangkauan internet, dan sistem PHC telah dirancang untuk mengatasi tantangan ini. Masyarakat di daerah tersebut datang ke balai desa untuk mendapatkan pemeriksaan medis. Setiap sesi pemeriksaan dapat menjangkau sekitar 200 hingga 300 orang.
PHC berfungsi sebagai katalisator bagi program penjangkauan kesehatan, membantu mengumpulkan data, dan menjadi bagian dari jaringan internasional. Untuk memastikan keberlanjutan PHC, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Di Malaysia, Universal Health Coverage (UHC) sangat disubsidi oleh negara, yang berarti semua layanan kesehatan diberikan secara gratis.
Sebagai langkah ke depan, PHC akan diintegrasikan ke dalam program yang berkelanjutan, seperti PUPUK (University Family partnership in community wellness program). Program ini juga akan digunakan untuk pendidikan mahasiswa kedokteran, sehingga dapat menciptakan program kesehatan yang berkelanjutan di masa depan.
Thailand
Program Genki Campus Initiative (GCI) diluncurkan di Asian Institute of Technology (AIT) untuk mendesain ulang kesehatan dan kesejahteraan guna menciptakan kampus yang sehat. Inisiatif ini berfokus pada masalah kesehatan umum di kalangan mahasiswa dan staf, seperti stres dan kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak sehat.
Respon terhadap program ini sangat menggembirakan. Peserta GCI menerima GenkiMaps, yaitu representasi visual berlogo warna dari status kesehatan mereka. Peta ini disertai dengan saran yang disesuaikan atau rujukan untuk perawatan klinis, yang memungkinkan individu untuk mengelola kesehatan mereka dengan lebih baik.
Untuk memastikan keberlanjutan, program ini menggunakan model pendanaan swasembada (self-sustaining) melalui skema co-payment di universitas. Pendekatan ini tidak hanya mendukung manajemen kesehatan individu, tetapi juga menyediakan wawasan kesehatan agregat kepada manajemen AIT, yang memfasilitasi pengambilan keputusan berbasis data dan alokasi sumber daya strategis berdasarkan kebutuhan kesehatan kampus.
Evaluasi Sensor Medis PHC
Bagian fundamental dari sistem Portable Health Clinic (PHC) adalah penggunaan berbagai sensor medis. Sensor ini sangat penting untuk mengumpulkan data kesehatan vital pasien. Sensor yang umum digunakan meliputi pengukur suhu tubuh, tekanan darah, glukosa darah, kolesterol, dan asam urat.
Ketika memilih perangkat medis, muncul pertanyaan apakah perangkat yang lebih mahal memiliki akurasi yang lebih baik. Namun, ide di balik implementasi PHC di negara berkembang adalah mencapai biaya minimum dengan performa maksimum.
Oleh karena itu, dilakukan analisis performa sensor-sensor medis yang umum di pasaran dengan membandingkannya dengan standar klinis di Jepang. Sebanyak 15 sensor glukosa darah dianalisis, dan ditemukan bahwa banyak di antaranya sudah memenuhi standar. Namun, untuk sensor kolesterol dan asam urat, hanya satu dari masing-masing jenis yang dianalisis yang dianggap sesuai dengan standar. Sementara itu, untuk sensor hemoglobin (HB), dari 10 sensor yang diuji, enam menunjukkan performa yang baik, meskipun rentang harganya bervariasi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa setiap negara memiliki otoritas persetujuan (approval authority) untuk perangkat medis, dan masih ada kekurangan sensor yang memenuhi standar, terutama untuk pengukuran kolesterol dan asam urat.
Reporter: Lutfan Lazuardi
Sesi Panel Konferensi
Advancing mPHR adoption and use in Asian region: Insights from Indonesia, Malaysia, Taiwan, and India
Upaya mendorong pemanfaatan mobile Personal Health Record (mPHR) di Asia menjadi fokus diskusi hangat pada panel “Advancing mPHR Adoption and Use in Asian Region: Insights from Indonesia, Malaysia, Taiwan, and India” yang digelar pada hari pertama MedInfo 2025 di Taipei, Taiwan. Panel yang dimoderatori oleh Anis Fuad, D.E.A. ini menyoroti perkembangan mobile Personal Health Record (mPHR) di Asia, yang berkembang dari platform pandemi menjadi solusi manajemen kesehatan terpadu, serta peluang untuk mewujudkan interoperabilitas lintas negara.
Dari Indonesia, dr. Ichlasul Amalia, MPH memaparkan evolusi SATUSEHAT Mobile, aplikasi resmi Kementerian Kesehatan yang lahir dari transformasi PeduliLindungi. Kini, SATUSEHAT Mobile bukan lagi sekadar alat pelacakan COVID-19, tetapi telah menjadi platform kesehatan terpadu yang menyediakan fitur deteksi risiko penyakit, pencatatan kesehatan, pengingat obat, pencarian dokter/obat, riwayat imunisasi, pertumbuhan anak, dan rekam medis elektronik yang aman melalui verifikasi KYC dan PIN.
Lusha Ayu Astari, MPH, menyoroti perkembangan Mobile JKN, yang diluncurkan pada 2017 untuk efisiensi administrasi, namun kini berperan sebagai mPHR nasional. Dengan fitur I-Care JKN, telemedicine, pengingat minum obat TB berbasis AI, serta integrasi dengan 97% rumah sakit rujukan, Mobile JKN sedang dalam proses integrasi penuh dengan SATUSEHAT untuk pertukaran data real-time dan pelayanan kesehatan bagi migran.
Dari sisi pemerintahan daerah, Dina Nur Anggraini Ningrum, PhD, mempresentasikan inisiatif Kota Semarang yang menggabungkan teknologi AI, IoT, dan data analytics untuk mendukung pencegahan stunting, deteksi dini penyakit, hingga pengembangan dashboard kesehatan berbasis peta kerentanan wilayah. Inovasi ini menjadi contoh bagaimana pendekatan berbasis komunitas dapat mempercepat transformasi digital kesehatan.
Sementara itu, Prof. Chien-Yeh Hsu, PhD, FIAHSI dari National Taipei University of Nursing and Health Sciences memaparkan ekosistem PHR Taiwan yang telah matang sejak awal 2000-an. Melalui My Health Bank, warga Taiwan dapat mengakses riwayat medis, hasil laboratorium, prediksi risiko penyakit, dan edukasi kesehatan. Layanan MediCloud serta Image Exchange Center memastikan data klinis dan radiologi dapat diakses secara terpadu antar rumah sakit. Taiwan juga mengimplementasikan International Patient Summary (IPS) untuk mendukung layanan kesehatan lintas negara, termasuk bagi jemaah haji dari Malaysia dan Indonesia, serta mengadopsi standar FHIR dan teknologi blockchain demi keamanan pertukaran data lintas batas.
Panel sepakat bahwa keberhasilan mPHR di Asia bergantung pada empat faktor kunci: penyelarasan standar data internasional, kebijakan lintas negara yang memungkinkan pertukaran informasi kesehatan, perluasan akses bagi kelompok rentan dan migran, serta peningkatan kepercayaan publik melalui keamanan dan privasi data. Rekomendasi konkret mencakup integrasi penuh antar sistem nasional, penguatan tata kelola data, pengembangan pilot project regional untuk layanan migran, dan edukasi literasi digital kesehatan berbasis komunitas.
Asia punya potensi besar membangun ekosistem kesehatan digital yang terhubung lintas negara, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada kolaborasi, standar, dan kepercayaan. Keberhasilan Taiwan, transformasi kesehatan digital di Indonesia, serta langkah kolaboratif Malaysia dan India menjadi inspirasi untuk mewujudkan sistem mPHR yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Reporter: Ichlasul Amalia dan Lusha Ayu Astari (HPM UGM)
Workshop 15:
Engaging and Collaborative Approaches to Teaching Health Informatics With AI
UGM-Taipei. Workshop ini dipandu oleh Susan Fenton (University of Texas School of Biomedical Informatics), Kerryn Butler-Henderson (Charles Sturt University), dan Karima Lalani (University of Washington). Workshop dengan model brainstorming ini melibatkan seluruh peserta dengan 3 pertanyaan pemantik menggunakan media Padlet
Pertanyaan pemantik 1:
Diskusikan pertimbangan etika dan potensi bias yang mungkin timbul dari penggunaan AI dalam pendidikan informatika kesehatan. Bagaimana para pendidik dapat memastikan bahwa alat AI digunakan secara bertanggung jawab dan adil?
Berikut beberapa ringkasan jawaban dari diskusi tersebut
Pertimbangan Etika dan Potensi Bias
Terdapat beberapa pertimbangan etika dan potensi bias yang muncul dari penggunaan AI dalam pendidikan informatika kesehatan. Salah satu masalah utama adalah ketergantungan berlebihan siswa yang bisa membuat mereka menerima hasil AI tanpa memeriksa ulang. Ini terkait dengan plagiarisme dan risiko siswa melewatkan proses pembelajaran mendalam, yang dapat menghambat pengembangan kemampuan berpikir kritis dan sintesis ide.
Pertimbangan etika lainnya mencakup privasi data dan keamanan siber. Ada kekhawatiran bahwa mahasiswa kedokteran mungkin lupa tentang pentingnya hal ini dan memasukkan informasi kesehatan sensitif ke dalam alat AI. Selain itu, ada kekhawatiran terkait potensi bias yang ada dalam data pelatihan AI dan bagaimana siswa mungkin tidak memahami bias ini. Biaya juga menjadi pertimbangan etika, di mana universitas disarankan untuk menyediakan alat AI gratis bagi semua siswa untuk memastikan kesempatan yang sama.
Strategi bagi Pendidik
Untuk memastikan alat AI digunakan secara bertanggung jawab dan adil, beberapa strategi disarankan untuk pendidik:
- Pendidikan dan Pedoman: Pendidik harus mengajar siswa tentang cara kerja AI, keterbatasannya, potensi bias, dan cara menggunakannya sebagai asisten yang efektif. Panduan yang jelas harus dibuat mengenai cara penggunaan alat AI yang tepat, termasuk keharusan untuk melaporkan alat mana yang digunakan.
- Penguatan Keterampilan: Siswa harus didorong untuk menggunakan AI dengan penalaran kritis dan menilai jawaban yang diberikan. Hal ini membantu mereka menghindari penggunaan AI untuk merangkum makalah tanpa membacanya secara menyeluruh dan memastikan mereka tidak melewatkan pembelajaran yang mendalam.
- Kebijakan dan Penilaian: Universitas perlu membuat kebijakan yang menangani penggunaan AI secara etis dan mendidik siswa tentang hal ini. Pendidik harus menggunakan metode penilaian otentik untuk mengevaluasi pembelajaran, bukan hanya mengandalkan pekerjaan rumah yang rentan terhadap plagiarisme.
- Transparansi: Pendidik juga harus transparan mengenai penggunaan GenAI (Generative AI) mereka sendiri di kelas.
- Persiapan untuk Dunia Kerja: Pendidik juga perlu menyadari bahwa organisasi kesehatan cenderung lebih konservatif dalam mengadopsi AI karena masalah keamanan dan akurasi klinis. Oleh karena itu, siswa yang dilatih menggunakan AI mungkin tidak diizinkan untuk menggunakannya dalam situasi kerja tertentu.
Pertanyaan pemantik 2:
Teknik penilaian inovatif apa yang dapat memanfaatkan pembelajaran berbantuan AI dalam informatika kesehatan. Pertimbangkan penilaian formatif dan sumatif serta dampaknya terhadap pembelajaran mahasiswa.
Berdasarkan tanggapan yang diberikan, berikut adalah ringkasan mengenai teknik penilaian inovatif yang dapat menggunakan pembelajaran berbantuan AI dalam informatika kesehatan.
Teknik Penilaian Formatif dan Kolaboratif
Sejumlah teknik penilaian formatif yang inovatif telah diusulkan untuk memanfaatkan AI. AI dapat berperan sebagai tutor, yang memberikan umpan balik dan membantu mahasiswa meningkatkan hasil belajar atau menguasai suatu topik dengan lebih baik. Mahasiswa juga dapat menggunakan model kelas terbalik (flipped classroom), di mana mereka menggunakan AI untuk mempelajari suatu topik sebelum kelas tatap muka dimulai, lalu mendiskusikannya bersama di kelas. Selain itu, AI dapat digunakan untuk membuat skenario simulasi klinis, yang kemudian dapat didiskusikan dan divalidasi oleh mahasiswa bersama tutor.
Penilaian Sumatif dan Berbasis Proyek Real di Lapangan
Untuk penilaian sumatif, fokusnya adalah pada metode yang tidak mudah digantikan oleh AI. Penilaian berbasis proyek otentik yang mengatasi masalah atau isu nyata, seperti yang berhubungan dengan Organisasi Berbasis Komunitas, dianggap sangat efektif. Presentasi langsung di depan kelas juga disarankan untuk memungkinkan interaksi langsung, memicu pemikiran kritis mahasiswa, dan memungkinkan mereka mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari. Teknik lain termasuk meminta mahasiswa menggunakan AI untuk menyelesaikan suatu masalah, lalu mengevaluasi hasil keluarannya secara langsung.
Pertanyaan pemantik 3:
Bagaimana alat yang didukung oleh AI dapat dimanfaatkan untuk mendorong lingkungan belajar kolaboratif dalam mata kuliah informatika kesehatan? Diskusikan potensi AI untuk memfasilitasi proyek kelompok, interaksi antar-teman sebaya, dan pembangunan komunitas di kalangan mahasiswa.
Berikut adalah ringkasan mengenai cara alat berbasis AI dapat dimanfaatkan untuk mendorong lingkungan belajar kolaboratif dalam mata kuliah informatika kesehatan, berdasarkan tanggapan yang diberikan.
Pemanfaatan AI untuk Pembelajaran Kolaboratif
Alat berbasis AI dapat digunakan untuk memfasilitasi interaksi kolaboratif di antara mahasiswa. Misalnya, AI dapat berperan sebagai
AI sebagai pasien
AI sebagai pasien yang memungkinkan mahasiswa mengambil peran berbeda, menawarkan solusi, dan bekerja sebagai tim interdisipliner. AI juga bisa menjadi alat manajemen proyek yang dapat secara otomatis menetapkan tugas, membuat garis waktu, dan meringkas kemajuan siswa. AI juga dapat membantu dalam simulasi klinis kolaboratif, namun kasus yang dibuat oleh AI harus ditafsirkan oleh teman sebaya untuk memastikan realistisnya simulasi tersebut. Selain itu, AI dapat menganalisis dinamika kelompok dan menyarankan strategi untuk menyeimbangkan partisipasi di antara anggota tim.
Interaksi Antar-teman Sebaya dan Pembangunan Komunitas
AI berpotensi untuk meningkatkan interaksi antar-teman sebaya dan membangun komunitas di antara mahasiswa. AI dapat merekomendasikan kecocokan antara mahasiswa berdasarkan minat atau keterampilan mereka, yang mengarah pada pembentukan komunitas dalam sebuah mata kuliah. Selain itu, AI dapat digunakan untuk menjalankan forum mahasiswa, menjaga percakapan tetap berjalan, atau memfasilitasi debat di mana mahasiswa mengkritisi dan memecahkan masalah. Mahasiswa juga dapat ditugaskan untuk membuat agen AI secara kolaboratif untuk membantu siswa lain belajar tentang suatu topik.
AI sebagai pendukung simulasi klinis
Dalam simulasi klinis kolaboratif, kasus yang dibuat oleh AI harus ditafsirkan di antara teman sebaya dan mahasiswa harus mampu memecahkan masalah yang diajukan. Jika kasusnya tidak tepat, simulasi tersebut menjadi tidak realistis.
AI sebagai oponen diskusi dan alat bantu ajar
salah satu cara untuk merangsang penalaran kritis adalah dengan berdiskusi dengan AI dan mahasiswa lain tentang cara memecahkan masalah
Rencana tindak lanjut
Sesi ini mengidentifikasi beberapa langkah ke depan yang akan diambil oleh kelompok kerja pendidikan IMIA (IMIA Education working group). Rencana kegiatan ke depan termasuk mengaktifkan kembali kelompok kerja pendidikan (WG-working group), mengembangkan rekomendasi internasional tentang penggunaan AI dalam pelatihan kesehatan dan kedokteran, serta membuat repository sumber daya tentang cara menggunakan AI dalam pendidikan. Rencana lainnya adalah membentuk komunitas praktik (Community of practice) di mana para pendidik dapat berbagi pengalaman dan tantangan. Selain itu, ada gagasan untuk mengembangkan “digital twin” untuk menguji dan bereksperimen dengan penggunaan AI secara aman. Beberapa komentar juga menyoroti pentingnya mendukung pengembangan literasi AI bagi para pendidik dan perlunya meninjau ulang cara pengajaran dan penilaian saat ini.
Reporter: Hanifah Wulandari dan Lutfan Lazuardi(UGM)
E-Health Taiwan
Regulatory innovation in smart healthcare and strengthening health system resilience
Yueh-Ping Liu (Taiwan Ministry of Health)
- Evidence based policy making
- Data governance: security, privacy, interoperability
- Strategy: smart healthcare, data governance, data protection → to ensure effective use of health data
- Healthcare administrative data platform
- Regulatory innovation
Real-time infectious disease surveillance in Taiwan: speed, scale, and system integration
Chien-Chang Lee (Taiwan CDC)
- Flow and analysis of epidemiological data
- Real-time surveillance:
- EMR → through infectious disease reporting application server
- electronic laboratory reporting → Laboratory Automated Reporting System via HL7 FHIR API with LOINC code
- Early warning system → syndromic surveillance using NHI claims data
- Event-based surveillance → sentinel communication: early alert for potential outbreak
- Notifiable disease reporting → web reporting via National Health Insurance database
- If there is a potential outbreak, the health facility could increase more people for service by increasing the incentives.
- Potential use of NHI data
- Generative AI to summarize disease reports
- Some of public reporting/ public health communication
- Website dashboard
- Develop line chatbot for disease control communication
Transforming clinical decision-making in the era of smart healthcare: from data integration to precision care
Chien-Chang Lee
- Telemedicine program with e-prescription
- Challenges:
- Fragmented health data in Taiwan
- 3 level of framework for EMR: TW Core (national data standard; HL7 FHIR (structural interoperability); LOINC, SNOMED CT (semantic interoperability)
- Developing Taiwan’s original LLM-based EHR encoders
- My Health Portal → PC version of My Health Bank (My Health Bank = PHR)
- EMR Exchange Network
- From FHIR to clinical decision support and AI application ecosystem
- Taiwan Health App Space (Using SMART on FHIR based app ecosystem)
- More info: Taiwan Healthcare Information Standard Platform’s website
- Fragmented health data in Taiwan
Future Proofing the Health Workforce
Taipei, 11 Agustus 2025 – Pagi ini berkesempatan menjadi chair session dalam sesi Oral Session 4: Future Proofing the Health Workforce. Sesi ini menghadirkan persepsi digital health workforce di region oseania khususnya Australia dan Timur Tengah yang membahas strategi, data, dan pendekatan etis untuk mempersiapkan tenaga kesehatan menghadapi tantangan era digital. Topik yang diangkat mencakup pergeseran demografi tenaga kerja informatika kesehatan, etika dalam teknologi digital, persepsi generasi terhadap kecerdasan buatan (AI), kepemimpinan di bidang kesehatan digital, hingga model pengembangan kapasitas tenaga kerja di tingkat regional.
Sesi ini menghadirkan 4 pembicara yaitu
Prof. Kerryn Butler-Henderson (School of Nursing, Paramedicine, and Healthcare Sciences, Charles Sturt University)
Dengan topik Generational and Gender Differences in the Health Informatics Workforce. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa saat ini tenaga kerja informatika kesehatan didominasi oleh wanita (59%), pergeseran signifikan dibanding masa awal yang didominasi laki-laki. Analisis juga mengungkap adanya kesenjangan remunerasi, di mana laki-laki lebih banyak berada di posisi dengan gaji tinggi di bidang teknologi informasi kesehatan.
Generational Health Professional Perceptions about Artificial Intelligence Impact on Clinical Work – disampaikan oleh Prof. Kerryn Butler-Henderson mewakili Dr. Karima Lalani
Menyoroti perbedaan persepsi antar generasi terhadap AI di dunia klinis. Gen Z dan Milenial cenderung optimistis akan peningkatan efisiensi dan pengambilan keputusan, namun juga lebih khawatir soal penggantian pekerjaan dibandingkan Gen X atau Boomer.
The Emerging Identity of Digital Health Leaders – Dr. Salma Arabi
Menganalisis karakteristik kepemimpinan dalam kesehatan digital di Australia. Pemimpin cenderung memiliki kualifikasi formal di bidang digital health, sertifikasi profesional, pengalaman kerja panjang, dan posisi manajerial. Hasil ini mendorong perlunya jalur karier terstruktur bagi calon pemimpin di bidang ini.
Advancing Workforce Development in Digital Health: A Regional Model from the GCC – Dr. Manal Almalki
Menjelaskan model ZIMAM yang menggabungkan kerangka kompetensi global (SFIA) dengan kebutuhan lokal di negara-negara Gulf Cooperation Council (Timur Tengah). Program ini meliputi pelatihan, konferensi, penghargaan digital health, dan kemitraan lintas sektor, serta telah diuji coba di beberapa organisasi kesehatan.
Reporter: Annisa R (UGM)
Plenary 4
Shaping the Future of Biomedical and Health Informatics in the Digital Health Era
Speakers: Patrice Degoulet, Ed Hammond, Jack Li, Christian Lovis, Heimar F. Marin, Otto Rienhoff, Ted Shortliffe
Chair: Brigitte Séroussi
Para panelis dalam diskusi ini memberikan pandangan yang kaya tentang perbedaan dan hubungan antara Biomedical and Health Informatics (BMHI), Digital Health (DH), dan Digital Transformation (DT), serta bagaimana istilah-istilah ini saling melengkapi namun juga memiliki fokus yang berbeda.
Patrice Degoulet menjelaskan bahwa Biomedical and Health Informatics adalah disiplin ilmu yang berkembang selama lebih dari 50 tahun, dibangun di atas tiga dimensi utama yaitu ilmu informasi, kedokteran, dan pemrosesan informasi dengan komputer. BMHI fokus pada proses pengolahan data menjadi informasi dan pengetahuan yang bermanfaat dalam konteks medis dan kesehatan. Sementara itu, Digital Health menempatkan kesehatan sebagai pusat perhatian manusia dan menggunakan berbagai teknologi digital untuk mendukung proses fisiologis dan layanan kesehatan. Degoulet menegaskan bahwa Digital Health sangat populer dan berkembang pesat, tetapi BMHI tetap menjadi ilmu dasar yang menguatkan Digital Health. Ia juga menyoroti bahwa penggunaan istilah harus berhati-hati karena perbedaan bahasa dan konteks bisa mempengaruhi makna, misalnya penggunaan prefix dan suffix dalam istilah.
Ted Shortliffe menambahkan bahwa pergeseran istilah dari Medical Informatics ke Biomedical and Health Informatics pada tahun 2000 mencerminkan perluasan bidang tersebut, khususnya dengan kemajuan teknologi yang besar dalam 15 tahun terakhir. Ia menyebut Digital Health sebagai istilah yang lebih berfokus pada rekayasa dan aplikasi teknologi digital, bukan sebagai kompetitor BMHI. BMHI dianggap sebagai ilmu dasar yang menopang pengembangan Digital Health, sehingga keduanya tidak bisa dipandang sama. Perubahan ini juga bersifat emosional dan logis, mengikuti kemajuan bidang.
Christian Lovis menggarisbawahi pentingnya pemilihan istilah yang tepat untuk memberi pengakuan dan mendukung perkembangan bidang tersebut. Menurutnya, Digital Health merupakan tindakan nyata atau aplikasi dari berbagai disiplin seperti Medical Informatics, Health Informatics, dan Biomedical and Health Informatics. Ia juga menekankan bahwa semakin berkembangnya bidang ini, maka istilah yang lebih spesifik dibutuhkan untuk pendekatan yang tepat.
Ed Hammond menegaskan bahwa apapun istilah yang digunakan, produk utamanya adalah informasi yang berkualitas dan penting dalam bidang kesehatan. Heimar, yang mewakili perspektif keperawatan, menambahkan bahwa terminologi juga mencerminkan budaya profesional. Ia mencontohkan bahwa awalnya Medical Informatics lebih terkait dengan dokter, namun kini Health Informatics lebih inklusif dengan fokus pasien sebagai pusat pelayanan, dan bahwa Digital Health tidak bisa berkembang tanpa fondasi BMHI yang menyediakan standar dan interoperabilitas.
Jack Li membedakan bahwa Biomedical Informatics (MI) lebih fokus pada metode, penelitian, dan validasi ilmiah, dengan sifat akademis dan teoritis. Health Informatics (HI) mencakup ruang lingkup yang lebih luas, termasuk apa yang ada di Digital Health. Digital Health sendiri merupakan payung besar yang lebih menonjolkan aspek pemasaran, model bisnis berkelanjutan, kepentingan untuk sertifikasi oleh regulator seperti FDA, serta orientasi kepada konsumen dan popularitas yang lebih tinggi dibanding istilah MI.
Otto Rienhoff menyoroti bahwa ledakan pengetahuan dan perkembangan terapi baru yang sangat cepat mempengaruhi dinamika penggunaan istilah di bidang ini. Menurutnya, organisasi seperti International Medical Informatics Association (IMIA) harus terus beradaptasi dengan perubahan istilah dan konsep baru seperti Digital Health.
Secara keseluruhan, para panelis menyepakati bahwa Biomedical and Health Informatics (BMHI) dan Digital Health (DH) dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Digital Health dianggap sebagai subbidang atau bagian dari Health Informatics (HI), yang menempatkan teknologi digital dalam konteks yang lebih luas. Sedangkan Digital Transformation (DT) adalah salah satu alat atau proses yang digunakan dalam pengembangan Digital Health dan Health Informatics, membantu mempercepat perubahan dan inovasi dalam layanan kesehatan yang berbasis teknologi.
Reporter: Lutfan Lazuardi (UGM)
13 Agustus 2025
Plenary 6
Meeting the Editors of Biomedical Informatics Journals: A Perspective on AI/LLM Challenges
Salah satu invited panel yang diselenggarakan dalam MedInfo Taipei 2025 adalah panel Meeting the Editors of Biomedical Informatics Journal berjudul “A Perspective on Suitable Papers and AI/LLM Challenges”. Sesi ini menghadirkan empat Editor-in-Chief yang mengelola empat dari 5 jurnal ofisial International Medical Informatics Association (IMIA). Tujuan dari panel ini adalah membagikan informasi terkait kriteria naskah yang layak dipublikasikan, tantangan Artificial Intelligence (AI) dan Large Language Models (LLMs) dalam manajemen jurnal, serta proses editorial di masing-masing jurnal.
Acara dibuka dengan pengantar dari Prof. Mor Peleg mengenai conceptual framework untuk memastikan penerapan AI yang adil (fair AI), dilanjutkan dengan presentasi masing-masing editor:
Journal of Biomedical Informatics (JBI) – Prof. Mor Peleg
- Acceptance rate: 8%
- Menekankan kontribusi metodologis yang jelas, inovasi melampaui state-of-the-art, dan potensi dampak signifikan pada praktik klinis.
- https://www.sciencedirect.com/journal/journal-of-biomedical-informatics
International Journal of Medical Informatics (IJMI) – Prof. Heimar F. Marin
- Acceptance rate: 8%
- Fokus pada penelitian yang memperkuat praktik kesehatan melalui solusi informatika medis, termasuk interoperabilitas data dan kebijakan kesehatan digital.
- https://www.sciencedirect.com/journal/international-journal-of-medical-informatics
Journal of the American Medical Informatics Association (JAMIA) – Prof. Suzanne Bakken
- Acceptance rate: 12%
- Mengutamakan penelitian yang mengutamakan real-world evidence, penggunaan standar terminologi medis, dan penerapan prinsip FAIR data.
- https://academic.oup.com/jamia
BMJ Health & Care Informatics – Prof. Yu-Chuan (Jack) Li
- Acceptance rate: 23%
- Mendorong publikasi yang memadukan inovasi teknologi dengan aplikasi klinis, serta studi implementasi di sistem kesehatan.
- https://informatics.bmj.com/
Setiap editor juga menegaskan pentingnya pernyataan signifikansi yang kuat, mencakup: masalah yang dipecahkan, pengetahuan yang sudah ada, kontribusi baru, dan pihak yang akan diuntungkan dari penelitian tersebut. Sesi diakhiri dengan diskusi panel interaktif mengenai tantangan etika dan teknis penggunaan GenAI dalam publikasi ilmiah, termasuk kebutuhan transparansi, pengakuan eksplisit penggunaan AI, mitigasi bias, serta human oversight.
Reporter:Annisa (UGM)
Kunjungan Departemen HPM FK-KMK UGM ke Institute of Epidemiology and Preventive Medicine, NTU
12 Agustus 2025
UGM-Taipei. Sebagai bagian dari agenda akademik di Taipei, tim dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (HPM), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kunjungan ke Institute of Epidemiology and Preventive Medicine (IEPM), College of Public Health, National Taiwan University (NTU). Tim HPM yang hadir terdiri atas dr. Lutfan Lazuardi, Ph.D., Dr. Guardian Yoki Sanjaya, M.Hlth.Info, Annisa Ristya Rahmanti, M.Sc., Ph.D., Lusha Ayu Astari, MPH, dr. Ichlasul Amalia, MPH, dan Hanifah Wulandari, MPH. Kunjungan ini juga diikuti oleh Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Dina Nur Anggraini Ningrum, M.Kes., Ph.D., beserta tim.
Rombongan disambut langsung oleh Prof. Hsien Ho Lin, Professor sekaligus Director IEPM yang memiliki minat riset utama di bidang tuberkulosis (TB). Pertemuan berlangsung hangat dan produktif, dengan diskusi yang dibingkai dalam perspektif makro. Topik pembahasan mencakup keterkaitan antara strategi pengendalian TB dengan konteks sistem kesehatan nasional, kapasitas sumber daya, serta pemanfaatan data dan inovasi digital untuk memperkuat layanan. Isu terkait mekanisme pelaporan dari fasilitas publik maupun swasta, serta proses verifikasi data, juga menjadi perhatian penting mengingat perannya dalam menjaga akurasi sistem surveilans penyakit menular. Pembahasan turut menyoroti potensi pembelajaran lintas negara antara Indonesia dan Taiwan, khususnya dalam pengembangan model kebijakan, pembiayaan, dan integrasi teknologi untuk pengendalian TB serta penyakit menular lainnya.
Selain membahas pengalaman Taiwan, sesi ini juga menjadi wadah untuk menjajaki peluang kolaborasi penelitian. Dina Nur Anggraini Ningrum dan tim dari Unnes memaparkan inisiatif pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi perkembangan penyakit TB, yang kemudian memicu diskusi menarik mengenai pemanfaatan teknologi cerdas dalam praktik epidemiologi modern. Prof. Hsien Ho Lin menyambut positif berbagai ide yang disampaikan, dan terbuka untuk menghubungkan tim dari Indonesia dengan kolega di NTU yang memiliki minat riset serupa. Hsien juga menawarkan kesempatan bagi tim untuk menghadiri salah satu sesi kuliah yang beliau ampu sebagai bagian dari pertukaran pengetahuan.
Diskusi ini menandai langkah awal yang menjanjikan untuk kerja sama akademik dan penelitian antara institusi di Indonesia dan Taiwan, khususnya di bidang kebijakan pencegahan penyakit, sistem kesehatan, dan inovasi teknologi kesehatan.
Reporter: Lusha Ayu Astari, Ichlasul Amalia (UGM)
Kunjungan Departemen HPM FKKMK UGM ke Chang Gung Medical Education Research Centre, Linkou Chang Gung Memorial Hospital
13 Agustus 2025
UGM-Taipei. Dalam rangka memperluas jejaring akademik dan mempelajari praktik pengendalian penyakit menular di fasilitas pelayanan kesehatan tersier Taiwan, tim dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (HPM), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) berkesempatan mengunjungi Chang Gung Medical Education Research Centre, Linkou Chang Gung Memorial Hospital. Rombongan diterima oleh Prof. Chien-Da Huang, MD, Professor dan Physician Educator dengan spesialisasi di bidang Thoracic Medicine, Airway Diseases, Medical Education, Narrative Medicine, serta Faculty Development dan Hendrick Lim, a post doc researcher in bioinformatics and Rahma Novita Asdary, research assistant at CG-MERC.
Pertemuan berlangsung secara interaktif dengan fokus diskusi terkait pembelajaran Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaporan kasus tuberkulosis (TB) di Taiwan. Prof. Huang menjelaskan bahwa setiap pasien TB memiliki ID card khusus yang memuat data identitas dan informasi medis pasien. Di setiap wilayah terdapat pusat TB di rumah sakit yang berada di bawah koordinasi CDC regional. Namun, seiring menurunnya jumlah kasus TB di Taiwan, fungsi skrining TB melalui CDC menjadi lebih longgar daripada sebelumnya.
Sistem pelaporan TB dilakukan satu kali dan langsung terintegrasi di dalam sistem rekam medis elektronik rumh sakit, sehingga dapat diakses oleh CDC untuk keperluan surveilans dan tindak lanjut. Pelaksanaan Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) dibantu oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan primer yang secara aktif mengunjungi pasien untuk memastikan obat diminum sesuai jadwal. Selain itu, dokter dapat mengakses data warehouse untuk memperoleh riwayat pengobatan pasien, termasuk data regimen obat yang digunakan.
Diskusi ini membuka wawasan terkait praktik terbaik pengendalian TB di Taiwan, khususnya dalam integrasi data, koordinasi lintas fasilitas, serta peran aktif tenaga kesehatan primer dalam mendukung keberhasilan terapi. Tim HPM FKKMK UGM menilai sistem ini dapat menjadi pembelajaran berharga untuk penguatan strategi pengendalian TB di Indonesia, terutama pada aspek pelaporan, data sharing, dan pemantauan kepatuhan pengobatan.
Reporter:
Annisa Ristya (UGM)