Seri Diskusi Online Penerapan Undang-Undang No. 6 Th. 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Oleh: Lia Rahmawati

Departemen Kebijakan dan Manejemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, bekerja sama dengan Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI dan CDC Atlanta, telah menyelenggarakan Seri Diskusi Online mengenai: PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TH. 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN, yang digelar dalam dua pertemuan. Pertemuan 1 pada tanggal 14 Desember 2020 dan pertemuan 2 pada tanggal 16 Desember 2020 secara daring melalui aplikasi Zoom. Pada pertemuan 1 membahas topik terkait “Memahami isi UU No.6 Th 2018”, dengan dimoderatori oleh Dr. Rimawati, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UGM), dan pembicara Dr. H. Muhammad Budi Hidayat, M.Kes., (Plt Dirjen P2P Kementerian Kesehatan dan Staf).

Dalam pembahasan oleh Narasumber, implementasi kekarantinaan dari UU No.6 ini menggantikan UU No.1 dan 2 Tahun 1962. Hambatan pelaksanaan dari UU No.1 dan 2 terkait salah satu tindakan darurat Covid-19 mengikat dan diatur oleh UU No. 6 tahun 2018. Di wilayah, langkah yang dilakukan adalah PSBB yang membatasi kegiatan keagamaan, orang berkumpul, atau meliburkan sekolah. Karantina wilayah menjadi tanggung jawab negara. Pada saat pandemic tidak dipilih karena menjadi beban yang besar bagi negara, misalnya harus memberikan makan sampai ke ternak. Bila ada pelanggaran UU perlu didukung oleh peraturan pemerintah untuk menjelaskan maksud UU.

“Terkait dengan prosedur karantina laut dan udara apakah regulasi dalam UU tersebut langsung otomatis di implementasikan saat proses evakuasi awak kapal saat awal pandemi? dan apakah ada upaya untuk mempercepat pembahasan untuk regulasi turunan berkaca dari situasi pandemi ini dan untuk antisipasi kedepan?” Tutur Bapak Muhammad Fahmi dari KMPK.

Narasumber Dr. H. Muhammad Budi Hidayat, M.Kes. mengungkapkan bahwa “PP masih dalam proses penyusunan terkait aturan pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2018. Untuk evaluasi di awal pandemic kelengkapan dokumen menjadi kewajiban termasuk surat kesehatan khususnya untuk penumpang udara. Terkait isu kelonggaran pengawasan di akhir tahun, saat ini sebenarnya tidak ada perubahan justru akan diperketat. Penumpang wajib dalam keadaan sehat, membawa hasil pemeriksaan kesehatan yang berlaku 14 hari. Setiap faskes boleh melakukan pelayanan rapid test. Akan ada electronic alert health card yang dapat memberikan validasi pemeriksaan”.

Pada pertemuan 2 membahas topik terkait : – Zona Karantina di Pelabuhan dan Transportasi –Pengawasan kekarantinaan kesehatan di Pos Lintas Batas Darat. –Pengalaman Karantina dari US dan berbagai negara, dengan dimoderatori oleh Dr. Mubasysyr Hasanbasri, MA (Ketua Program Magister  IKM FK-KMK UGM), dan 3 pembicara yaitu, DR. H. Muhammad Budi Hidayat, M.Kes (Plt Dirjen P2P Kementerian Kesehatan) yang diwakilkan oleh dr. Benget Saragih, M.Epid., James Fuller (Epidemiologist CDC Atlanta), dan Kay E. Wilcox (Epidemiologist CDC Atlanta).

Dalam pembahasan Narasumber dr. Benget Saragih, M.Epid, mengatakan bahwa “penyelanggaraan kekarantinaan kesehatan mempunyai fungsi strategis dalam menjaga keselamatan dan keamanan bangsa dan negara dari risiko penyakit dan faktor risiko kesehatan yang menyebar lintas wilayah dan negara. Kegiatan penanggulangan KKM di pintu masuk dan wilayah dilakukan secara terintegrasi dan merupakan tanggung jawab bersama, perlu penguatan komunikasi, koordinasi, dan jejaring di antara institusi terkait; TNI-POLRI, Pemerintah Daerah dan termasuk akademisi”.

Pembahasan Narasumber dari CDC atlanta menyimpulkan bahwa “Kontrol yang ketat di implementasikan untuk mengontrol wabah, namun dengan konsekuensi sosial/ekonomi costs yang besar. Sehingga pertanyaannya, bagaimana kita mengontrol wabah, dan meminimalisir kerugian social/ekonomi?. CDC kemudian melakukan penelitian strigent policy dengan sumber data dari 37 negara Eropa, data WHO, CDC, dan Oxford. Dari penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa implementasi kebijakan yang lebih awal dan lebih banyak saat wabah, berhubungan dengan menurunnya angka kematian/mortalitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk langkah-langkah mitigasi termasuk menutup area bisnis, tempat hiburan, dan membatasi jumlah kumpul. Kemudian masa karantina dapat dikurangi untuk meningkatkan kepatuhan, gejala harus tetap dimonitor selama 14 hari.

“Mengapa menggunakan angka kematian, bukan angka morbiditas/penularan?” tanya Jane Sapardi. Kemudian Narasumber James Fuller mengatakan bahwa “Karena angka kematian lebih dapat menunjukkan dampak ke negara juga karena adanya kemungkinan angka morbiditas/penularan yang lebih rendah dari sebenarnya / under reported”.

Untuk materi pembahasan pada seri diskusi online dapat Anda unduh di link di bawah ini.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.